Minggu, 15 Juni 2014
MENGHINDARI HUJAN
Oleh Leo Wahyudi S
Masa berkesusahan, menderita, kesulitan dalam kehidupan dapat menimpa siapa saja. Masa-masa itu tidak mengenal musim. Tidak pula mengenal dan memilih-milih siapa yang akan dikunjunginya. Baik si kaya maupun si miskin atau yang pas-pasan dapat terjangkit masa-masa sulit. Mereka dapat datang kapan pun mereka mau. Bahkan hampir selalu mereka datang tanpa kompromi atau undangan khusus.
Mereka datang seperti pencuri yang mencuri kebahagiaan kita di kala kita terlena.
Suatu kali ada seorang pengendara motor melintas di sebuah jalan raya yang relatif sepi. Kala itu memang mendung menggelayut tebal di kaki langit. Pemuda itu berpakaian rapi. Kelihatannya ia dalam perjalanan seusai menghadiri satu acara. Tiba-tiba pengendara itu menarik gas dan memacu sepeda motornya dengan kencang. Usut punya usut, ternyata kala itu gerimis mulai turun. Tak jauh di belakangnya, sebuah dinding putih berkabut tampak bergerak. Dinding itu terbentuk dari garis hujan deras. Gerimis adalah kepala hujan yang mencari jalan untuk dibasahi dengan airnya. Sekencang-kencangnya motor itu dipacu, tetap saja laju gerimis dapat mendahuluinya. Terlihat jalanan yang akan dilalui pemuda itu mulai terbasahi oleh titik-titik air hujan. Pemuda itu seakan tak peduli. Motornya meraung keras. Lajunya pun makin kencang. Di ujung jalan, akhirnya dinding hujan itu sudah berhasil menyusul pemuda bersepeda motor tadi. Masih tampak, bagaimana pakaian parlente itu berwarna makin gelap. Tanda si pemakainya sudah basah kuyup. Tanpa disadari, kadang kita pun berperilaku seperti pemuda berpakaian parlente tadi. Kita ingin melarikan dari kejaran air hujan
yang mulai turun. Kita lalu memacu sepeda motor sekencang-kencangnya demi menyelamatkan diri dari air hujan yang akan mengguyur tubuh kita. Namun sekencang apapun kita menjauh dari hujan, kalau kita tidak berteduh atau memakai jas hujan, toh badan kita akan terguyur hujan pula.
Kiasan itu menggambarkan sikap kita saat menghadapi masa-masa sulit dan berkesusahan. Tak seorang pun berharap mendapat kesusahan. Tak seorangpun yang normal berani dengan tegar menantang masa kesusahan itu. Bahkan banyak orang berdoa agar selalu dijauhkan dari kesusahan itu. Kalau bisa lari sekencang-kencangnya agar kesusahan itu tak jadi menghampiri kita.
Sebagaimana datangnya hujan, datangnya masa kesusahan pun tak bisa ditolak. Tak ada waktu untuk menghindar. Tak ada cara untuk melarikan diri. Tak ada tempat berteduh. Sebagaimana seorang tamu yang bertandang ke rumah, tidak ada jalan lain kecuali menerimanya. Suka atau tidak suka kita harus membukan pintu hati dan mempersilahkan tamu kesusahan itu masuk. Semasam apapun wajah kita.
Semakin kita melawan semakin kita merasakan perlawanan dari sang kesusahan. Dia datang bukan untuk dilawan, melainkan harus dipeluk Sakit memang menerima kunjungan tamu kesusahan. Tiada jalan lain yang lebih bijak daripada merengkuhnya bak saudara kandung yang mengkhianati kita. Alangkah bijaknya kalau kita mau memeluk kesusahan itu bak sahabat lama. Hanya berdamai dengan sang kesusahan maka hidup kita akan relatif tenang, sekalipun tamu kesusahan sedang menginap di rumah hati kita.
Tamu tidak akan tinggal selamanya di rumah hati kita. Pada waktunya pulang, dia akan pulang. Dia akan meninggalkan buah kebajikan sebagai kenangan dan ungkapan terima kasih pada tuan rumah. Perdamaian itu yang akan membuat hati kita ikhlas untuk menerima kesusahan sebagaimana kita menyambut kegembiraan. Tidak ada pilihan lain kecuali berdamai dengan hati yang ikhlas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar