Kali ini tentang cinta lagi tapi bentuk cerpen.
Baca aja pelan-pelan
pasti nanti juga tau ceritanya kayak mana
Langsung aja sob...
TAKDIR DAN HARAPAN CINTA
Sore yang sangat kelam di sekitar rumah yang sepi, dedaunan
yang jatuh seakan begitu iklas merebahkan dirinya ke tanah, setitik
demi setitik air hujan menetes membasahi rerumputan. Sore itu begitu
tenang, tampa canda, tawa, senyuman, seakan-akan hidup dalam
kesendirian, meratap tangisan alam yang durja.
Aisah sedang duduk termenung sendiri melihat ke arah pepohonan di depan gubuk yang sederhana. Tergambar di raut wajahnya rasa cemas dan gelisah. Matanya menatap tajam ke arah tungku perapian, disitulah wanita separuh baya sedang duduk menanak nasi, tubuhnya yang lemah, dan kriput di wajahnya membuat Aisyah tidak bisa menahan air matanya. “ais… aisyah..” suara itu terdengar begitu miris dan menyengat batinnya, “kuatkah aku, pabila hal yang tidak aku inginkan terjadi kepadaku”. Jerit hatinya seraya menghapus tetesan air mata yang membasahi pipinya yang merona. “ada apa ibu, ibu sedang sakit kenapa ibu harus menanak, biarlah ais yang menanak nasi”. Wajah cemas aisyah begitu tergambar dari raut wajahnya yang begitu belia. Aisyah masih terbilang muda, usianya yang baru menginjak 17 tahun ini, begitu mengerti pahit ketirnya kehidupan. Aisyah lahir di keluarga yang sederhana, orangtuanya seorang petani dan ibundanya sedang sakit-sakitan beberapa tahun terakhir ini. Aisyah tidak bisa melanjutkan sekolah karena perekonomiannya tidak mendukung tapi harapan dia untuk mendapatkan ilmu tidak putus sampai sini, di desanya dia mengajar mengaji dan mengajar anak-anak yang tidak mampu.
“nak!!! tolong kasih nasi ini ke bapak mu, kasihan dia sudah sesore ini belum makan siang, dan Bantu bapakmu membawa barang-barangnya”, dengan nada yang lemah, namun senyuman selalu terukir dari bibir wanita paruh baya itu, yang membuat hati aisyah selalu gelisa. “ibu.. ibu harus istirahat.. biar ais yang melakukan pekerjaan rumah, aisyah pamit dulu, Assalamualaikum..!”, “waalaikum salam”.
Di perjalan menuju sawahnya aisyah bertemu dengan salah satu ustad yang juga membantu aisyah mengajar di mushola dekat rumahnya. “Assalamualaikum neng..”, “waalaikum salam!!, kakak dari mana?” mencoba memandang wajahnya, walau dalam hatinya menjerit, sesesok yang membuat dia mengerti arti kekaguman yang mendalam, keelokannya, ketabahannya dan kesholehannya, sepasang mata itu saling bertatapan, sesegera mata-mata yang menjelajah memasuki akal menundukkan kepala mereka berdua, “a a a anu, saya dari sekolah, habis membantu mengajar bahasa. Inggris di sana”, meliahat keanehan dalam raut wajah pemuda itu aisyah tersenyum dan membuat lesung pipi di sebelah kanan pipinya terlihat..
Pemuda itu sering di sebut dengan kak zam zam oleh murid-muridnya yang polos, nama sebenarnya adalah, Ahmad khoiru Adzam. Nama yang terbilang keren di kalangan gadis-gadis muslimah. “saya pamit duluan kak, bapak saya sudah menunggu saya, Assalamualaikum”, aisyah belalu dengan cepat sehingga adzam tidak sempat untuk menjawab salam dari seorang gadis yang menggoyahkan hatinya tersebut.
Hari semakin petang, matahari seakan sudah siap menyelimuti siang dengan kegegelapan, di kejauhan terlihat sesosok laki-laki paruh baya sedang duduk-duduk termenung, dahinya mengerut seakan terdapat beban berat yang dipikulnya, “Assalamualaikum” aisyah duduk di samping ayahnya dan mengelurkan nasi untuk diberikan kepada laki-laki yang amat ia cintai “Waalaikum salam.” Laki-laki itu tersenyum seraya mengelus kepala anaknya yang terlihat begitu ayu dengan balutan kerudung putihnya. “apa yang harus aku lakukan untuk kedua orangtuaku, beban yang dipikul kedua orangtuaku begitu berat, Ya Allah inikah takdir darimu, ku serahkan semuanya kepadamu Ya Ilahi Robbi”, jerit hatinya melihat kedua orangtuanya.
Hari ini begitu cerah matahari bersinar begitu elok dari ufuk timur, bunga-bunga melati bermekaran membuat suasana membawa angan ais terbang melayang mengingat kejadian kemarin sore, wajah tampannya terbayang di angan-angannya seakan menembus hatinya yang mulai beku dengan harapan yang buntu. Aisyah tersenyum-senyum seraya mengambil air di semur, setibanya di rumah dia terkejut dengan kedatangan pemuda yang belum pernah ia lihat sebelumnya. tatapannya menatap tajam ke arah bapak dan ibundanya yang tersenyum girang, “betapa bahagianya kedua orangtuaku”, hatinya berbisik. “Aisyah sini nak..”, wanita paruh baya memanggilnya masuk ke teras gubuk rumahnya yang sederhana. “iya ibu ada apa?”, aisyah masuk dengan hati yang cemas dan dengan rasa yang penuh penasaran “nak pemuda ini adalah seseorang yang akan meminangmu untuk adiknya, ayah dan ibu sudah menjodohkanmu dengan adik pemuda ini, dan ia kesini ingin segera meminangmu dan menikahimu”, dengan senyuman yang menyentuh hati aisyah, batin aisyah tergoncang di dalam pikirannya hanya pemuda itu yang sangat ia kagumin, “bagaimana nak” sahut bapaknya sambil menahan batuk dan sesak di dadanya. “cepatlah menikah nak, sebelum ayah dan ibumu meninggal, mendengar hal itu aisyah tidak bisa menahan air matanya, hatinya menolak tapi ia tidak bisa menolak keinginan kedua orangtuanya, ia hanya bisa berharap kedua orang tuanya bisa bahagia dengan pernikahaannya nanti “Bismillah hirrohmannirrohim, saya mau menikah dengan pemuda yang telah ibu dan bapak pilihkan untuk saya”, mendengar perkataan aisyah, semua mata tertuju pada aisyah dan tersenyum bahagia, aisyah pun berusaha membalas senyuman itu dengan iklas. “terima kasih aisyah, nama saya adalah yusuf”, aisyah hanya bisa menundukkan pandangannya, hatinya sedih dan pikirannya kacau “besok kamu ikut akang ke rumah, karena tiga hari dari hari ini pernikahanmu akan dilaksanakan, baiklah saya pamit, Assalamualaikum”, “waalaikum salam”.
Malam sudah menghampiri hari aisyah, tapi tak sedikit pun bintang menemani malamnya, “Ya Allah hamba mohon, apabila ia memang jodoh hamba yang telah Kau gariskan maka yakinkanlah hati hambaMu ini”, dalam sujudnya aisyah menangis, sampai seorang bocah kecil menghampirinya “kakak kenapa?, apa Allah memukul kakak?” mendengar hal itu aisyah tersenyum manis, “tidak dek, Allah tidak pernah memukul kakak, Allah sangat sayang pada setiap hamba-hambaNya, apalagi hamba yang begitu amat mencintaNya”, aisyah mencium pipi adik kecil yang begitu polos menanyakan hal yang mungkin di akal anak seusianya.
“Asslamualaikum”, “Waalaikum salam, kakak” aisyah sedikit kaget karena yang sedang berdiri di belakangnya adalah pemuda yang ia kagumi, “aisyah… aisyah aisyah” suara itu begitu terbata-bata dan membuat asiyah penasaran”, “iya kak?” “aisyah… bolehkah aku mencintai mu, bolehkah aku mencurahkan kasih sayang ku padamu, karena Allah aku mencintai dan menyayangimu”, mendengar hal tersebut aisyah terkejut dan menundukkan kepala, air matanya mengalir deras membasahi mukena putih yang dipakainya, batinnya kacau dadanya begitu sesak dan nafasnya terpatah-patah “sungguh Allah Maha Kuasa atas segala takdirNya, Maha Suci Dia, sungguh aku sangat mengagumimu kak, tapi… tapi… tapi.. aku sudah dikhibah oleh seorang pemuda”, tampa berkata-kata lagi aisyah meninggalkan pemuda itu, adzam hanya bisa merenung, belum sempat ia mengutarakan apa yang ingin ia katakan, hati adzam begitu pilu mendengar perkataan aisyah, tapi apalah daya ia pun harus siap menikah dengan wanita yang sudah di jodohkan kedua orangtuanya, walaupun di dalam hatinya hanyalah Aisyah yang megitu memantapkan dirinya untuk melaksanakan sunnah Rosulullah.
Keesokan harinya, cuaca begitu cerah matahari seakan tersenyum bahagia, tapi bergitu berbeda dengan hati aisyah yang sedang di gundah rasa pilu yang membuat dirinya tidak bisa memejamkan matanya, langkahnya begitu lamban, nafasnya sesak mengikuti langkahnya menghampiri rumah calon suaminya, “Assalamualaikum”, “waalaikum salam”, suara yang terdengar bukanlah sorang pemuda melaikan seorang wanita separuh baya yang membukakan pintu “nak aisyah, mari masuk nak”, “mari aisya”, sahut laki-laki yang menjemputnya untuk mengantarnya ke rumah calon suaminya.
Hati aisyah berdebar-debar memasuki ruang tamu yang sedikit mewah dibandingkan rumahnya, aisyah duduk dengan hati yang cemas, kepalanya tertunduk, matanya suram, dan batinnya menjerit. “Assalamualaikum”, pemuda itu keluar dengan menundukkan kepala “waalaikum salam”, aisyah pun menjawab salam pemuda tersebut, dan tidak bisa mengangkat pandangannya, “nak silahkan kalian bertatapan, karena besok adalah hari pernikahan kalian”, suara itu begitu lantang sehingga membuat pemuda-pemudi itu terkejut dan perapatkan padangan satu sama lain “aisya…!!!” “kakak” aisyah terkejut melihat pemuda yang sedang berada di depan matanya adalah sesosok pemuda yang ia kagumi, pemuda itu tersenyum dengan begitu tulus, matanya tidak lepas dari gadis yang sedang duduk di depannya pipi lesungnya yang terukir karena senyumannya membuat adzam tidak bisa memalingkan pandangannya, begitu pun aisya, perubahan suasana hatinya seperti bom atom yang meledakkan suasana hatinya. “Ya Allah Maha Besar Engkau, Kau menyimpan begitu banyak rahasia hamba-hambaMu hanyalah Kau yang mengetahui takdir hidupku, Maha Suci Kau tuhan pencipta alam”, suara hati aisyah yang tergambar begitu jelas di wajahnya, begitu pun adzam yang tidak henti-hentinya mengucapkan puji syukur kepada Allah. Jodoh Allahlah yang mengatur tidak ada yang bisa mengelak dari takdirNya Maha suci Allah yang menciptakan pasangan-pasangan untuk hamba-hambaNya.
SELESAI
Cerpen Karangan: Nisa Khanza Sakhi
Facebook: Nisa Khanza Sakhi Melati
Sekian sob
Wassalamu'alaikum
Aisah sedang duduk termenung sendiri melihat ke arah pepohonan di depan gubuk yang sederhana. Tergambar di raut wajahnya rasa cemas dan gelisah. Matanya menatap tajam ke arah tungku perapian, disitulah wanita separuh baya sedang duduk menanak nasi, tubuhnya yang lemah, dan kriput di wajahnya membuat Aisyah tidak bisa menahan air matanya. “ais… aisyah..” suara itu terdengar begitu miris dan menyengat batinnya, “kuatkah aku, pabila hal yang tidak aku inginkan terjadi kepadaku”. Jerit hatinya seraya menghapus tetesan air mata yang membasahi pipinya yang merona. “ada apa ibu, ibu sedang sakit kenapa ibu harus menanak, biarlah ais yang menanak nasi”. Wajah cemas aisyah begitu tergambar dari raut wajahnya yang begitu belia. Aisyah masih terbilang muda, usianya yang baru menginjak 17 tahun ini, begitu mengerti pahit ketirnya kehidupan. Aisyah lahir di keluarga yang sederhana, orangtuanya seorang petani dan ibundanya sedang sakit-sakitan beberapa tahun terakhir ini. Aisyah tidak bisa melanjutkan sekolah karena perekonomiannya tidak mendukung tapi harapan dia untuk mendapatkan ilmu tidak putus sampai sini, di desanya dia mengajar mengaji dan mengajar anak-anak yang tidak mampu.
“nak!!! tolong kasih nasi ini ke bapak mu, kasihan dia sudah sesore ini belum makan siang, dan Bantu bapakmu membawa barang-barangnya”, dengan nada yang lemah, namun senyuman selalu terukir dari bibir wanita paruh baya itu, yang membuat hati aisyah selalu gelisa. “ibu.. ibu harus istirahat.. biar ais yang melakukan pekerjaan rumah, aisyah pamit dulu, Assalamualaikum..!”, “waalaikum salam”.
Di perjalan menuju sawahnya aisyah bertemu dengan salah satu ustad yang juga membantu aisyah mengajar di mushola dekat rumahnya. “Assalamualaikum neng..”, “waalaikum salam!!, kakak dari mana?” mencoba memandang wajahnya, walau dalam hatinya menjerit, sesesok yang membuat dia mengerti arti kekaguman yang mendalam, keelokannya, ketabahannya dan kesholehannya, sepasang mata itu saling bertatapan, sesegera mata-mata yang menjelajah memasuki akal menundukkan kepala mereka berdua, “a a a anu, saya dari sekolah, habis membantu mengajar bahasa. Inggris di sana”, meliahat keanehan dalam raut wajah pemuda itu aisyah tersenyum dan membuat lesung pipi di sebelah kanan pipinya terlihat..
Pemuda itu sering di sebut dengan kak zam zam oleh murid-muridnya yang polos, nama sebenarnya adalah, Ahmad khoiru Adzam. Nama yang terbilang keren di kalangan gadis-gadis muslimah. “saya pamit duluan kak, bapak saya sudah menunggu saya, Assalamualaikum”, aisyah belalu dengan cepat sehingga adzam tidak sempat untuk menjawab salam dari seorang gadis yang menggoyahkan hatinya tersebut.
Hari semakin petang, matahari seakan sudah siap menyelimuti siang dengan kegegelapan, di kejauhan terlihat sesosok laki-laki paruh baya sedang duduk-duduk termenung, dahinya mengerut seakan terdapat beban berat yang dipikulnya, “Assalamualaikum” aisyah duduk di samping ayahnya dan mengelurkan nasi untuk diberikan kepada laki-laki yang amat ia cintai “Waalaikum salam.” Laki-laki itu tersenyum seraya mengelus kepala anaknya yang terlihat begitu ayu dengan balutan kerudung putihnya. “apa yang harus aku lakukan untuk kedua orangtuaku, beban yang dipikul kedua orangtuaku begitu berat, Ya Allah inikah takdir darimu, ku serahkan semuanya kepadamu Ya Ilahi Robbi”, jerit hatinya melihat kedua orangtuanya.
Hari ini begitu cerah matahari bersinar begitu elok dari ufuk timur, bunga-bunga melati bermekaran membuat suasana membawa angan ais terbang melayang mengingat kejadian kemarin sore, wajah tampannya terbayang di angan-angannya seakan menembus hatinya yang mulai beku dengan harapan yang buntu. Aisyah tersenyum-senyum seraya mengambil air di semur, setibanya di rumah dia terkejut dengan kedatangan pemuda yang belum pernah ia lihat sebelumnya. tatapannya menatap tajam ke arah bapak dan ibundanya yang tersenyum girang, “betapa bahagianya kedua orangtuaku”, hatinya berbisik. “Aisyah sini nak..”, wanita paruh baya memanggilnya masuk ke teras gubuk rumahnya yang sederhana. “iya ibu ada apa?”, aisyah masuk dengan hati yang cemas dan dengan rasa yang penuh penasaran “nak pemuda ini adalah seseorang yang akan meminangmu untuk adiknya, ayah dan ibu sudah menjodohkanmu dengan adik pemuda ini, dan ia kesini ingin segera meminangmu dan menikahimu”, dengan senyuman yang menyentuh hati aisyah, batin aisyah tergoncang di dalam pikirannya hanya pemuda itu yang sangat ia kagumin, “bagaimana nak” sahut bapaknya sambil menahan batuk dan sesak di dadanya. “cepatlah menikah nak, sebelum ayah dan ibumu meninggal, mendengar hal itu aisyah tidak bisa menahan air matanya, hatinya menolak tapi ia tidak bisa menolak keinginan kedua orangtuanya, ia hanya bisa berharap kedua orang tuanya bisa bahagia dengan pernikahaannya nanti “Bismillah hirrohmannirrohim, saya mau menikah dengan pemuda yang telah ibu dan bapak pilihkan untuk saya”, mendengar perkataan aisyah, semua mata tertuju pada aisyah dan tersenyum bahagia, aisyah pun berusaha membalas senyuman itu dengan iklas. “terima kasih aisyah, nama saya adalah yusuf”, aisyah hanya bisa menundukkan pandangannya, hatinya sedih dan pikirannya kacau “besok kamu ikut akang ke rumah, karena tiga hari dari hari ini pernikahanmu akan dilaksanakan, baiklah saya pamit, Assalamualaikum”, “waalaikum salam”.
Malam sudah menghampiri hari aisyah, tapi tak sedikit pun bintang menemani malamnya, “Ya Allah hamba mohon, apabila ia memang jodoh hamba yang telah Kau gariskan maka yakinkanlah hati hambaMu ini”, dalam sujudnya aisyah menangis, sampai seorang bocah kecil menghampirinya “kakak kenapa?, apa Allah memukul kakak?” mendengar hal itu aisyah tersenyum manis, “tidak dek, Allah tidak pernah memukul kakak, Allah sangat sayang pada setiap hamba-hambaNya, apalagi hamba yang begitu amat mencintaNya”, aisyah mencium pipi adik kecil yang begitu polos menanyakan hal yang mungkin di akal anak seusianya.
“Asslamualaikum”, “Waalaikum salam, kakak” aisyah sedikit kaget karena yang sedang berdiri di belakangnya adalah pemuda yang ia kagumi, “aisyah… aisyah aisyah” suara itu begitu terbata-bata dan membuat asiyah penasaran”, “iya kak?” “aisyah… bolehkah aku mencintai mu, bolehkah aku mencurahkan kasih sayang ku padamu, karena Allah aku mencintai dan menyayangimu”, mendengar hal tersebut aisyah terkejut dan menundukkan kepala, air matanya mengalir deras membasahi mukena putih yang dipakainya, batinnya kacau dadanya begitu sesak dan nafasnya terpatah-patah “sungguh Allah Maha Kuasa atas segala takdirNya, Maha Suci Dia, sungguh aku sangat mengagumimu kak, tapi… tapi… tapi.. aku sudah dikhibah oleh seorang pemuda”, tampa berkata-kata lagi aisyah meninggalkan pemuda itu, adzam hanya bisa merenung, belum sempat ia mengutarakan apa yang ingin ia katakan, hati adzam begitu pilu mendengar perkataan aisyah, tapi apalah daya ia pun harus siap menikah dengan wanita yang sudah di jodohkan kedua orangtuanya, walaupun di dalam hatinya hanyalah Aisyah yang megitu memantapkan dirinya untuk melaksanakan sunnah Rosulullah.
Keesokan harinya, cuaca begitu cerah matahari seakan tersenyum bahagia, tapi bergitu berbeda dengan hati aisyah yang sedang di gundah rasa pilu yang membuat dirinya tidak bisa memejamkan matanya, langkahnya begitu lamban, nafasnya sesak mengikuti langkahnya menghampiri rumah calon suaminya, “Assalamualaikum”, “waalaikum salam”, suara yang terdengar bukanlah sorang pemuda melaikan seorang wanita separuh baya yang membukakan pintu “nak aisyah, mari masuk nak”, “mari aisya”, sahut laki-laki yang menjemputnya untuk mengantarnya ke rumah calon suaminya.
Hati aisyah berdebar-debar memasuki ruang tamu yang sedikit mewah dibandingkan rumahnya, aisyah duduk dengan hati yang cemas, kepalanya tertunduk, matanya suram, dan batinnya menjerit. “Assalamualaikum”, pemuda itu keluar dengan menundukkan kepala “waalaikum salam”, aisyah pun menjawab salam pemuda tersebut, dan tidak bisa mengangkat pandangannya, “nak silahkan kalian bertatapan, karena besok adalah hari pernikahan kalian”, suara itu begitu lantang sehingga membuat pemuda-pemudi itu terkejut dan perapatkan padangan satu sama lain “aisya…!!!” “kakak” aisyah terkejut melihat pemuda yang sedang berada di depan matanya adalah sesosok pemuda yang ia kagumi, pemuda itu tersenyum dengan begitu tulus, matanya tidak lepas dari gadis yang sedang duduk di depannya pipi lesungnya yang terukir karena senyumannya membuat adzam tidak bisa memalingkan pandangannya, begitu pun aisya, perubahan suasana hatinya seperti bom atom yang meledakkan suasana hatinya. “Ya Allah Maha Besar Engkau, Kau menyimpan begitu banyak rahasia hamba-hambaMu hanyalah Kau yang mengetahui takdir hidupku, Maha Suci Kau tuhan pencipta alam”, suara hati aisyah yang tergambar begitu jelas di wajahnya, begitu pun adzam yang tidak henti-hentinya mengucapkan puji syukur kepada Allah. Jodoh Allahlah yang mengatur tidak ada yang bisa mengelak dari takdirNya Maha suci Allah yang menciptakan pasangan-pasangan untuk hamba-hambaNya.
SELESAI
Cerpen Karangan: Nisa Khanza Sakhi
Facebook: Nisa Khanza Sakhi Melati
Sekian sob
Wassalamu'alaikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar