Aku yang dikerumuni
oleh orang-orang kaya di sekitarku, sudah terbiasa dengan caci maki yang
terlontar dari mulut mereka. Bahkan di kelas, mereka tak mau mengubah sifat
mereka itu. Cacian itu sudah kuanggap sebagai sarapan pagi dan makan siang selama
mereka mencaci aku bukan orangtuaku. Hanya bisa bersabar dan bersabar.
“Dasar
kamu jelek, anak kampung, anak miskin !” Mendengar itu, aku hanya terdiam dan
tersenyum. Itu kulakukan karena aku tak mau memperbesar masalah di sekolah.
Senyuman adalah jurus pamungkasku untuk menghalau cacian mereka agar tak masuk
ke hati. “Sabar...sabar...” Aku mengelus dada.
“Hei,
kamu ! Kerjakan tugas sekolahku yang kemarin !” Dia menyuruhku.
“Untuk
apa pula kulakukan itu ?” Jawabku tegas.
“Oh...aku
mengerti. Kamu ingin ini kan ?” Dia mengeluarkan uang dua lembar sepuluh
ribuan.
“Hahaha...kamu
mau menyogok aku ya ? Gak mempan. Seringkali
kamu mengukur sesuatu dari materi. Kapan sih
kamu sadar ?”
“Sok kamu ! Bilang aja kepengen uang ini kan ? Dasar munafik !” Aku hanya bisa
tersenyum mendengar hal itu. Tak penting. Seperti kentut yang berlalu dan busuk
baunya.
“Kamu
kan bisa kerjakan sendiri. Aku kan gak
sepintar kamu ?” Aku pun merendah.
“Banyak
kali ocehanmu ! Dasar anak miskin ! Orangtuamu itu orangtua yang gak ada gunanya, tahu gak ? Lihat orantuamu itu, sudah bau
tanah !”
Aku
tak mampu menahan emosinku. Aku paling tidak terima kalau orantuaku dicaci. Aku
pun berdiri membalas tatapannya yang sombong itu.
“Mau
apa kau, anak miskin ?”
“Kurang
ajar kau !” Kutinju muka sombongnya itu. Satu kali, TKO. Dia terkapar dengan hidung berdarah. Anak orang kaya memang gak ada apa-apanya. Dasar mulut besar. Melihat
aku yang emosi seperti itu, dia meminta maaf.
“Maafkan
aku, ya ? Aku sudah jahat samamu.” Dia menyesal. Emosiku pun perlahan reda.
“Jangan
kamu ulangi lagi ya ?”
“Iya,
maafkan aku.” Ucapnya.
#MenjagaApi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar