Kali ini kita akan membahas yang namanya BID'AH.
Udah tahu kan apa itu BID'AH..??
Hhaa... belum tahu..
Okelah, biar saya kasih tahu aja, biar gak gelap. *emangnya mati lampu...
Walaupun postingan ini agak menyimpang, ya maklum aja ya...
PENGERTIAN BID’AH
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Allah berfirman.
Badiiu’ as-samaawaati wal ardli
“Artinya : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]
Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah.
Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli
“Artinya : Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [Al-Ahqaf : 9].
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang
yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada
hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah
mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah”, maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.
Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :
[1] Perbuatan bid’ah dalam adat
istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang
IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan
berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal
dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.
[2] Perbuatan
bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam
dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang
mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini
yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak
diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya :
Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami,
maka perbuatannya di tolak”.
MACAM-MACAM BID’AH
Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
[1] Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah :
Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang
Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah
(kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
[2] Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam
ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak
disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa
bagian yaitu :
[a]. Bid’ah yang berhubungan dengan
pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada
dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang
tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan
hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun,
kelahiran dan lain sebagainya.
[b]. Bid’ah yang bentuknya
menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah
rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
[c]. Bid’ah yang terdapat pada sifat
pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak
disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan
cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri
(memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[d]. Bid’ah yang bentuknya mengkhususkan suatu ibadah yang disyari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti mengkhususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban)
untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan
qiyamullail itu disyari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan
pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.
HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
”Artinya : Janganlah kamu sekalian
mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan
hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits
Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
”Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
”Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak”.
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa
segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat dan tertolak.
Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada
diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf
mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur,
mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu,
berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka,
dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan
orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah.
Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti
membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a di sisinya. Ada juga
bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah
Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan
keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan
maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari
batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam
yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma
dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).
Catatan :
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah
hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Artinya :
Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan
orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu
sesat, tapi ada bid’ah yang baik !
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam
kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam : “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang
mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat
tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan
sabdanya : “Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari
urusan kami, maka perbuatannya ditolak”. Jadi setiap orang yang
mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal
tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu
sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah
aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.
Dan mereka itu tidak mempunyai dalil
atas apa yang mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali
perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih :
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata : “Sesungguhnya
telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh
ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga
penulisan hadits dan penyusunannya”.
Adapun jawaban terhadap mereka adalah :
bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari’at,
jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa
dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam
syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah
bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut
syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.
Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu
kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih
terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum
pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.
Juga shalat Tarawih, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama’ah bersama
para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka
(sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para
sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat
beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu
jama’ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang
(shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.
Begitu juga halnya penulisan hadits itu
ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian
sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada
penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an. Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah
kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah
disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya
tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada
mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi
mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak
rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung
jawab.
[Disalin dari buku Al-Wala &
Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh
Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan,
terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]
Bid’ah Menurut Imam Syafi’i
Pada bahasan pembagian bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu: bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah).
Mereka menyandarkan pembagian tersebut kepada al-Imam asy-Syafi’iy
rahimahullah, yang kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara
ghuluw oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah (dhalalah)
dalam terminologi syari’at menurut mereka, karena setiap orang berhak
untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, pada artikel kali ini
saya mencoba menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut
sisi pandang al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu
kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang
menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan bahayanya.
Allah ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ
بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ
حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ
بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ
مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ
بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ
مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah SAW.
bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu
umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang
menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil
sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi
kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak
mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan.
Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang
mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia
seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia
juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji
sawipun” [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].
Berkata Bakr bin Al-’Alaa’ :
فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَلٍِ يَوْمًَا :
إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ
فِيْهَا الْقُرْانُ، حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ،
وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ، وَالصَّغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ
وَالْحُرُّ، فَيُوْشِكُ قَائِلٌُ أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلنَّاسِ لاَ
يَتَّبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ
حَتَّى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ ! فَإِيَّكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِنَّ
مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌُ، وَأُحَذُِّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ،
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ عَلَى لِسَانِ
الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ.
Mu’adz bin Jabal berkata pada suatu hari :
”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah, dimana
pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka
hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak
kecil, orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya.
Pada saat itu akan ada seseorang yang berkata: ’Mengapa orang-orang itu
tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Al-Qur’an? Mereka itu tidak
akan mengikutiku hingga aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain
Al-Qur’an!’. Maka hendaklah kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang
dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat
(bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian akan
penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena seringkali
syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang hakim,
dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu
Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120].
عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu
’anhu ia berkata : “Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada
bersungguh-sungguh dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223,
Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103,
dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].
عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم والله
الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله
فإن أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم
يذهبوا مع أهل الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على
سنتهم حتى لقوا ربهم فكذلك إن شاء الله فكونوا
Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak dari
Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian
dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada tuhan yang patut
disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu
yang sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka
bersabarlah kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan
mengasihi kalian. Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang
sangat sedikit dan kecil, baik pada masa lampau maupun pada masa yang
akan datang. Mereka itu adalah orang yang tidak senang bercampur dengan
ahli maksiat pada kemaksiatan mereka, dan tidak mau bekerjasama dengan
para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan mereka. Bersabarlah kalian
dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah hingga kalian
menghadap Tuhannya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka
insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” [Diriwayatkan oleh
Ad-Darimi no. 222; dla’if].
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا
أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى
تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السُّنَنُ.
Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma
bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun
kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya.
Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam
Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ : ”Diriwayatkan oleh
Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].
Itulah sedikit di antara nash dan atsar dari para pendahulu kita yang
shalih (as-salafush-shalih) tentang tercelanya bid’ah. Mereka
memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at yang tidak ada dalilnya dan
tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak pernah mengecualikan
bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka
adalah dlalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang
tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik
baginya untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyah
radliyallaahu ’anha:
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ،
فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا
الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ
تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه)
“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang
diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar
terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah
apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim
no. 177].
Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma:
كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةًَ
”Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun
manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh
Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalam
Al-Ibaanah no. 205 dengan sanad shahih].
Jika kita kaitkan dengan perbuatan salafunash-shaalih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.
عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال
الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام
على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول
الحمد لله على كل حال
Dari Nafi’: Bahwasannya ada seseorang
bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata :
“Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan
kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya
mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi
tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami.
Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan: “Alhamdulillah ‘alaa
kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no.
2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].
Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu
sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa
hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah
(walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam).Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan:
سمعت مالكا يقول : “من ابتدع في الإسلام بدعة
يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن
الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم
دينا”
“Aku mendengar Imam Malik berkata:
“Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik,
maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam
mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang
pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian
dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari
agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Kembali pada pembahasan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Kita tidak
pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari kalangan
shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi
gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah sebagaimana di atas. Beliau
(Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu
(menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at”
[Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy
2/395, dan yang lainnya].
Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas:
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang menetapkan
hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy”
[Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan:
إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].
Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).Perkataan-perkataan di atas tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan bid’ah hasanah – satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau. Bid’ah hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah. Apabila kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :
فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من
الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ
اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه
أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ،
وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا
يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang ulama terhadap
peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang
syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta
orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan
rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang
tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu
dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut
pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut
pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at”
[Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal.
50].
Lantas bagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang
perkataan Asy-Syafi’iy tentang pembagian bid’ah terpuji dan tercela ?Harmalah bin Yahya meriwayatkan :
سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : (
البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما
خالف السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i –
rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang
terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah,
maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi
sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela” [Hilyatul-Auliyaa’
oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H].
Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabiy hafidhahullah telah menjelaskan bahwa
selain riwayat ini bertentangan dengan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy
rahimahullah yang telah dinukil sebelumnya, juga sanadnya lemah, karena
dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul [lihat ‘Ilmu Ushuulil-Bida’,
hal. 121; Daarur-Raayah, Cet. 2/1417]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar