widgets

Senin, 26 Mei 2014

Cerpen : GARONG




Oleh INDRA TRANGGONO

Foto: GARONG

Oleh INDRA TRANGGONO

Dia selalu datang membawa bola-bola api yang dibungkus dengan kertas kado abu-abu mengilat, yang anti panas dan tidak bisa terbakar.

Senyumnya selalu mengembang, setiap dia membuka bungkusan dan mengambil bola-bola api yang besarnya seukuran apel Amerika.  Begitu satu bola api kuterima maka sontak tubuhku berubah menjadi semacam kristal bercahaya. Aku tertawa. Sangat senang. Bahkan bahagia. Aku pun berlari mencari kaca yang menempel di dinding rumahku. Aku tersentak. Wajahku tampak sangat cantik. Hidungku tambah mancung. Bibirku tampak indah merekah. Mataku tampak bercahaya. Gelambir lemak yang selama ini mengisi pipiku pun lenyap. Pipiku ramping. Puluhan ribu pori-pori di wajahku memancarkan cahaya. Oi, tubuhku juga makin sintal. Padat berisi. Aku seperti terlahir kembali menjadi perempuan paling cantik di dunia.

”Dari mana kau dapat bola api itu?” kutatap mata dia.

”Ya, belilah.... Di sebuah Toko Cahaya. Semua pelayannya adalah bidadari. Kamu tak perlu tahu di mana letak toko itu.”

”Di ujung dunia? Toko Nabi Sulaiman?” kataku serius.

”Ah. Kamu terobsesi lakon sandiwara Kapai-kapai-nya Arifin C Noer. Ingat ya aku bukan Abu, tokoh yang terombang-ambing menemukan jalan untuk menjadi pangeran. Dan ingat, aku juga tidak miskin seperti Abu,” ujarnya sambil tertawa.

”O tentu. Dan aku juga bukan Iyem, isteri Abu, yang hidupnya dipanggang penderitaan. Kupikir Iyem itu terlalu naif menjalani cinta. Mestinya dia meninggalkan  Abu yang tidak bisa membahagiakan. Ya, seperti aku. Jadi pacar kamu. Seluruh hidupku terjamin. Apa saja bisa kumiliki.”

”Kamu terlalu berlebihan, Gendari. Aku hanya laki-laki biasa.”

”Kamu sangat luar biasa, Ageni. Namamu saja sudah menyiratkan api yang selalu merebus darahmu hingga mendidih. O ya, bagaimana dengan bola api ini?” aku menimang-nimang beberapa bola api yang berpijar, tanpa tanganku terbakar.

”Semua ini milikmu. Terserah mau kau apakan...”

”Aku tidak tahu cara menggunakan, sayang....”

”Kamu cukup melemparkan bola api itu.... Lemparkanlah, sayang....”

Tanganku melemparkan bola api satu per satu. Satu bola mengenai langit-langit rumah. Sontak, rumahku berubah jadi rumah cahaya, lengkap dengan perabot-perabotnya. Aku bahagia sekali. Kulemparkan lagi satu bongkahan ke halaman rumahku. O my God, semua berubah menjadi hamparan tanah yang luas, lengkap dengan danau dan kapalnya yang selama ini hanya hidup dalam bayangan. Tumbuh juga pohon-pohon dengan buahnya yang sangat ranum. Rumahku berubah jadi kastil yang sangat indah.

”Jika kamu makan buah pohon itu, kujamin kamu tidak akan tua, bahkan mati. Kamu akan remaja selamanya. Ya, seperti aku,” ujar Ageni.

”Dan kita bisa selalu bercinta, setiap saat, tanpa bosan dan lelah...,” aku menyambung. Dia tertawa.

”Aku ingin kamu mengandung anak dariku....” Dia menatap tajam.

”Bagaimana kalau yang kukandung nanti bukan bayi, tapi bola api?” Aku tertawa. Dia memelukku.

Mendadak dia melesat ke udara. Tubuhnya seringan kapas. Sangat lentur terbang dan hinggap di pohon raksasa. Dia petik beberapa buah. Langsung dilemparkan kepadaku. Aneh, tanpa kuperintah, mulutku langsung menganga. Buah itu masuk. Langsung ke perutku. Dan aku sangat tidak percaya, merasakan perubahan tubuhku. Kulit tubuhku yang penuh kerut-merut mengelupas berganti dengan kulit muda yang mulus dan bersih, melebihi kulit bayi.

”Menjadi tua dan binasa adalah kemalangan bagi manusia. Mulai detik ini, kemalangan itu tak akan terjadi pada dirimu, sayang,” ujar Dia sambil makan buah cahaya.

”Tapi apa nikmatnya hidup abadi?”

”Kenikmatan itu tak bisa dirumuskan, hanya bisa dijalani.”

Kami tertawa. Dada kami mekar, mengembang, gagah menantang semua penyakit, bakteri, keuzuran dan apa pun yang merongrong hidup kami.

”Tunggu sayang. Apakah kita tidak sedang melawan hukum Tuhan?” ujarku tiba-tiba.

”Maaf, aku tidak tertarik mendiskusikan.”

”Bagaimana jika Tuhan marah dan menghukum kita?” aku mendesaknya.

”Ini bukan soal agama. Bukan soal iman. Tapi, hasrat. Ya, hasrat yang tak bisa dipatahkan oleh takdir.”

”Kamu yakin?”

”Aku sendiri telah menjalani. Aku tak tahu persis berapa umurku sekarang. Tapi, kira-kira hampir seratus tahun.”

”Kamu sudah sangat tua.”

”Tua dan muda hanyalah soal kesepakatan. Dan aku telah melampauinya. Aku telah menembus ruang dan waktu. Tetap selalu muda. Dan perkasa.”

”Jadi kita akan lolos dari jebakan mesin waktu?”

”Mesin waktu hanya dipercayai para pengecut yang memercayai tahapan, periode, dimensi dan perubahan-perubahan yang selalu ditakuti. Sedangkan aku abadi. Kita abadi.”

”Abadi seperti iblis, maksudmu?”

”Iblis tidak ada dalam logika manusia. Aku lebih suka menyebutnya hasrat. Ya hasrat. Iblis hanya hidup dalam dongeng agama. Dan aku sudah lama meninggalkan, ya sejak agama tak lebih dari penghambat hasrat....”

”Kamu ingkar! Kamu atheis!!” aku benar-benar tersinggung dan marah.

Dia hanya tersenyum. Kupukuli dan kucakari tubuhnya. Dia malah tertawa.

”Sayang, tampaknya sisa-sisa ajaran agama masih melekat dalam bawah sadarmu. Tapi jangan khawatir. Tidak lama semua kerak itu akan terbakar.”

”Terbakar semuanya? Termasuk seluruh kenanganku?”

”Kamu akan lahir kembali jadi manusia baru. Manusia dengan hasrat besar. Tanpa kenangan. Tanpa gurat ayat, tanpa bayangan Tuhan, tanpa jejak nabi atau orang-orang suci.”

”Semua lenyap? Tolong sisakan jejak bapak dan ibuku, agar setiap saat aku bisa mencium aroma keringat mereka seharum aroma mawar.”

”Jejak bapak-ibumu justru akan menjadi penghalang bagimu. Kamu tidak butuh riwayat. Pohon silsilah itu sudah tumbang!”

Kuharap dia tidak serius, hanya mengigau, meskipun diam-diam aku terpukau ditikam kalimat-kalimatnya.

”Hari sudah sore. Aku harus pulang,” kata Ageni tiba-tiba.

”Pulang ke mana? Ke isterimu? Berapa sih isterimu?”

”Tiga ratus. Sebentar lagi menjadi 301.”

”Aku tak perlu kamu nikahi. Aku sudah bahagia menjadi kekasihmu meskipun gelap.”

Dia terkekeh. ”Tolong nanti kamu sms nomer rekeningmu.”

”Kamu mau kirim berapa milyar?”

”Bukan uang..., tapi bola api yang tidak akan pernah habis kamu pakai belanja. Kamu cukup menggesek kartu kreditmu. Pijaran-pijaran api pun berubah jadi angka-angka yang bisa kamu deret sesukamu.”

Aku mengangguk. Terpukau. Ingin rasanya aku segera masuk butik, restoran dan mal, makan menu-menu favoritku dan memborong semuanya. Ingin rasanya aku membeli apartemen, mobil dan apa saja.

Tanpa kunyana, dia melesat di balik rembang petang bagai siluman. Jejaknya ditandai butiran-butiran kristal yang memenuhi pori-pori udara.

 

Ageni kukenal lewat Facebook. Setelah lama jadi teman, dia selalu merespons statusku. Siratan-siratan pikirannya terasa melucuti kebodohanku. Kalimat-kalimatnya seperti api yang membakar tabir yang membekap otakku.

Kami sering bertemu. Dia selalu datang pada sore hari dari ibu kota. Kami mengobrol. Makan. Dan selalu bercinta. Tak selalu di hotel. Pernah kami bercinta di rumah pohon, di mobil yang kami parkir di pinggir hutan dan di pantai sambil menatap matahari tenggelam. Dan yang paling mengesankan: kami pernah bercinta di dalam helikopter yang berputar-putar mengelilingi langit kota. Sang pilot hanya tersenyum mendengar dengus nafas kami yang memburu.

”Apa sih pekerjaan kamu?” aku bertanya pada suatu senja.

”Pengusaha! Ya, apa saja kusikat. Yang penting semuanya jadi duit,” katanya usai minum bir, suatu saat di sebuah cafe di kotaku.

Aku melihat tatapannya yang tidak pasti. Bayangan kebohongan membersit di wajahnya. Aku tetap penasaran, ingin tahu pekerjaan dia yang sesungguhnya. Rasa ingin tahu itu telah membawaku memasuki ibu kota. Malam. Aku berdoa, dia tidak tahu ada seorang perempuan mengendap-endap menguntit dia. Untuk mencari jejaknya, aku hanya berbekal kata yang pernah dia ucapkan: Cafe Bulan Ungu, Hotel Hologram. Dia mengaku selalu minum di situ, bersama teman-temannya.

Malam belum pekat, ketika aku masuk ke Cafe Bulan Ungu dengan menyamar menjadi seorang laki-laki berkumis. Darahku terasa berhenti ketika melihat dia datang bersama dengan seorang perempuan, dengan baju berbelahan dada lebar. Kuamati percakapan dia dari jauh. Tampak, dia sangat serius membicarakan sesuatu. Entah apa. Lalu mereka pergi, naik mobil. Kukuntit mereka dengan naik taksi.

Mobil mereka berhenti di depan gedung parlemen yang tinggi dan besar. Seluruh dindingnya seperti terbuat dari cahaya. Mereka masuk. Kuikuti, dengan jarak dan langkah yang terjaga. Mereka masuk di sebuah ruang. Aku langsung mengambil posisi di dekat jendela ruangan besar itu. Aman.

Dari celah gordyn jendela kulihat dia dan perempuan itu disambut beberapa lelaki dan perempuan. Mereka langsung membicarakan sesuatu. Bukan kata-kata yang terdengar, tapi bola-bola api yang berpijar, yang keluar dari mulut mereka. Ada ratusan bola api yang berpendar-bendar memenuhi ruangan.

Di layar muncul bola-bola api yang membentuk deretan angka-angka. Lalu disusul bola-bola api yang membentuk huruf-huruf, kalimat-kalimat. Sekejap kemudian muncul wajah-wajah memelas, wajah-wajah kuyu-kusam yang berada di antara gubuk-gubuk reyot,  jalanan becek, got mampat dan ribuan lalat.

”Anggaran untuk orang-orang malang ini sangat gede. Hampir 500 milyar. Kita bisa memainkannya,” kulihat mulut Ageni berucap melalui huruf-huruf yang menjelma menjadi bola-bola api.

Beberapa orang mengangguk, lalu tertawa. Bola-bola api memenuhi ruangan, lalu lenyap. Kulihat Ageni menggerakkan kedua tangannya. Angka 500 milyar itu sekejap terpecah dan terbelah. Tampak belasan orang membuka mulutnya. Lebar. Sangat lebar. Angka-angka bola api itu terhisap mulut-mulut mereka. Mulut Ageni menganga paling lebar dan menghisap paling kuat, hingga deretan angka yang dihisap pun lebih panjang. Perut mereka menggelembung, penuh sesak bola api.

Gambar-gambar lain muncul di layar: anak-anak berseragam sekolah, gedung-gedung sekolah yang ambruk, bayi-bayi dengan kepala besar dan mata melotot, ibu-ibu kurus, dan rumah sakit yang penuh sesak pasien. Lalu muncul anga-angka. Trilyunan. Sekejap kemudian tampak Ageni menggerakkan tangannya. Angka trilyunan itu terpelah, terpecah dan terburai. Lalu belasan mulut mengaga mengisap angka-angka itu. Mataku terasa pedih. Perutku terasa mual. Kepalaku pusing.

Seperti biasa, senja itu Ageni menemuiku di beranda rumahku. Dia membawa bola-bola api yang dibungkus kertas kado  yang tak bisa terbakar.

”Kita menikah.” Dia memelukku.

Tanganku meraba punggungnya. Kurasakan tanganku menyentuh bulu-bulu yang keras dan kasar. Lalu kugenggam jari-jemarinya. Kurasakan, ada kuku-kuku panjang menyentuh telapak tanganku. Kutatap wajahnya. Aku melihat di antara deretan giginya yang putih berkilau tumbuh taring, makin lama makin panjang. Aku ingin menikam jantungnya, tapi tak kutemukan belati atau pisau lipat.

Yogyakarta, 2014
Dia selalu datang membawa bola-bola api yang dibungkus dengan kertas kado abu-abu mengilat, yang anti panas dan tidak bisa terbakar.

Senyumnya selalu mengembang, setiap dia membuka bungkusan dan mengambil bola-bola api yang besarnya seukuran apel Amerika. Begitu satu bola api kuterima maka sontak tubuhku berubah menjadi semacam kristal bercahaya. Aku tertawa. Sangat senang. Bahkan bahagia. Aku pun berlari mencari kaca yang menempel di dinding rumahku. Aku tersentak. Wajahku tampak sangat cantik. Hidungku tambah mancung. Bibirku tampak indah merekah. Mataku tampak bercahaya. Gelambir lemak yang selama ini mengisi pipiku pun lenyap. Pipiku ramping. Puluhan ribu pori-pori di wajahku memancarkan cahaya. Oi, tubuhku juga makin sintal. Padat berisi. Aku seperti terlahir kembali menjadi perempuan paling cantik di dunia.

”Dari mana kau dapat bola api itu?” kutatap mata dia.

”Ya, belilah.... Di sebuah Toko Cahaya. Semua pelayannya adalah bidadari. Kamu tak perlu tahu di mana letak toko itu.”

”Di ujung dunia? Toko Nabi Sulaiman?” kataku serius.

”Ah. Kamu terobsesi lakon sandiwara Kapai-kapai-nya Arifin C Noer. Ingat ya aku bukan Abu, tokoh yang terombang-ambing menemukan jalan untuk menjadi pangeran. Dan ingat, aku juga tidak miskin seperti Abu,” ujarnya sambil tertawa.

”O tentu. Dan aku juga bukan Iyem, isteri Abu, yang hidupnya dipanggang penderitaan. Kupikir Iyem itu terlalu naif menjalani cinta. Mestinya dia meninggalkan Abu yang tidak bisa membahagiakan. Ya, seperti aku. Jadi pacar kamu. Seluruh hidupku terjamin. Apa saja bisa kumiliki.”

”Kamu terlalu berlebihan, Gendari. Aku hanya laki-laki biasa.”

”Kamu sangat luar biasa, Ageni. Namamu saja sudah menyiratkan api yang selalu merebus darahmu hingga mendidih. O ya, bagaimana dengan bola api ini?” aku menimang-nimang beberapa bola api yang berpijar, tanpa tanganku terbakar.

”Semua ini milikmu. Terserah mau kau apakan...”

”Aku tidak tahu cara menggunakan, sayang....”

”Kamu cukup melemparkan bola api itu.... Lemparkanlah, sayang....”

Tanganku melemparkan bola api satu per satu. Satu bola mengenai langit-langit rumah. Sontak, rumahku berubah jadi rumah cahaya, lengkap dengan perabot-perabotnya. Aku bahagia sekali. Kulemparkan lagi satu bongkahan ke halaman rumahku. O my God, semua berubah menjadi hamparan tanah yang luas, lengkap dengan danau dan kapalnya yang selama ini hanya hidup dalam bayangan. Tumbuh juga pohon-pohon dengan buahnya yang sangat ranum. Rumahku berubah jadi kastil yang sangat indah.

”Jika kamu makan buah pohon itu, kujamin kamu tidak akan tua, bahkan mati. Kamu akan remaja selamanya. Ya, seperti aku,” ujar Ageni.

”Dan kita bisa selalu bercinta, setiap saat, tanpa bosan dan lelah...,” aku menyambung. Dia tertawa.

”Aku ingin kamu mengandung anak dariku....” Dia menatap tajam.

”Bagaimana kalau yang kukandung nanti bukan bayi, tapi bola api?” Aku tertawa. Dia memelukku.

Mendadak dia melesat ke udara. Tubuhnya seringan kapas. Sangat lentur terbang dan hinggap di pohon raksasa. Dia petik beberapa buah. Langsung dilemparkan kepadaku. Aneh, tanpa kuperintah, mulutku langsung menganga. Buah itu masuk. Langsung ke perutku. Dan aku sangat tidak percaya, merasakan perubahan tubuhku. Kulit tubuhku yang penuh kerut-merut mengelupas berganti dengan kulit muda yang mulus dan bersih, melebihi kulit bayi.

”Menjadi tua dan binasa adalah kemalangan bagi manusia. Mulai detik ini, kemalangan itu tak akan terjadi pada dirimu, sayang,” ujar Dia sambil makan buah cahaya.

”Tapi apa nikmatnya hidup abadi?”

”Kenikmatan itu tak bisa dirumuskan, hanya bisa dijalani.”

Kami tertawa. Dada kami mekar, mengembang, gagah menantang semua penyakit, bakteri, keuzuran dan apa pun yang merongrong hidup kami.

”Tunggu sayang. Apakah kita tidak sedang melawan hukum Tuhan?” ujarku tiba-tiba.

”Maaf, aku tidak tertarik mendiskusikan.”

”Bagaimana jika Tuhan marah dan menghukum kita?” aku mendesaknya.

”Ini bukan soal agama. Bukan soal iman. Tapi, hasrat. Ya, hasrat yang tak bisa dipatahkan oleh takdir.”

”Kamu yakin?”

”Aku sendiri telah menjalani. Aku tak tahu persis berapa umurku sekarang. Tapi, kira-kira hampir seratus tahun.”

”Kamu sudah sangat tua.”

”Tua dan muda hanyalah soal kesepakatan. Dan aku telah melampauinya. Aku telah menembus ruang dan waktu. Tetap selalu muda. Dan perkasa.”

”Jadi kita akan lolos dari jebakan mesin waktu?”

”Mesin waktu hanya dipercayai para pengecut yang memercayai tahapan, periode, dimensi dan perubahan-perubahan yang selalu ditakuti. Sedangkan aku abadi. Kita abadi.”

”Abadi seperti iblis, maksudmu?”

”Iblis tidak ada dalam logika manusia. Aku lebih suka menyebutnya hasrat. Ya hasrat. Iblis hanya hidup dalam dongeng agama. Dan aku sudah lama meninggalkan, ya sejak agama tak lebih dari penghambat hasrat....”

”Kamu ingkar! Kamu atheis!!” aku benar-benar tersinggung dan marah.

Dia hanya tersenyum. Kupukuli dan kucakari tubuhnya. Dia malah tertawa.

”Sayang, tampaknya sisa-sisa ajaran agama masih melekat dalam bawah sadarmu. Tapi jangan khawatir. Tidak lama semua kerak itu akan terbakar.”

”Terbakar semuanya? Termasuk seluruh kenanganku?”

”Kamu akan lahir kembali jadi manusia baru. Manusia dengan hasrat besar. Tanpa kenangan. Tanpa gurat ayat, tanpa bayangan Tuhan, tanpa jejak nabi atau orang-orang suci.”

”Semua lenyap? Tolong sisakan jejak bapak dan ibuku, agar setiap saat aku bisa mencium aroma keringat mereka seharum aroma mawar.”

”Jejak bapak-ibumu justru akan menjadi penghalang bagimu. Kamu tidak butuh riwayat. Pohon silsilah itu sudah tumbang!”

Kuharap dia tidak serius, hanya mengigau, meskipun diam-diam aku terpukau ditikam kalimat-kalimatnya.

”Hari sudah sore. Aku harus pulang,” kata Ageni tiba-tiba.

”Pulang ke mana? Ke isterimu? Berapa sih isterimu?”

”Tiga ratus. Sebentar lagi menjadi 301.”

”Aku tak perlu kamu nikahi. Aku sudah bahagia menjadi kekasihmu meskipun gelap.”

Dia terkekeh. ”Tolong nanti kamu sms nomer rekeningmu.”

”Kamu mau kirim berapa milyar?”

”Bukan uang..., tapi bola api yang tidak akan pernah habis kamu pakai belanja. Kamu cukup menggesek kartu kreditmu. Pijaran-pijaran api pun berubah jadi angka-angka yang bisa kamu deret sesukamu.”

Aku mengangguk. Terpukau. Ingin rasanya aku segera masuk butik, restoran dan mal, makan menu-menu favoritku dan memborong semuanya. Ingin rasanya aku membeli apartemen, mobil dan apa saja.

Tanpa kunyana, dia melesat di balik rembang petang bagai siluman. Jejaknya ditandai butiran-butiran kristal yang memenuhi pori-pori udara.



Ageni kukenal lewat Facebook. Setelah lama jadi teman, dia selalu merespons statusku. Siratan-siratan pikirannya terasa melucuti kebodohanku. Kalimat-kalimatnya seperti api yang membakar tabir yang membekap otakku.

Kami sering bertemu. Dia selalu datang pada sore hari dari ibu kota. Kami mengobrol. Makan. Dan selalu bercinta. Tak selalu di hotel. Pernah kami bercinta di rumah pohon, di mobil yang kami parkir di pinggir hutan dan di pantai sambil menatap matahari tenggelam. Dan yang paling mengesankan: kami pernah bercinta di dalam helikopter yang berputar-putar mengelilingi langit kota. Sang pilot hanya tersenyum mendengar dengus nafas kami yang memburu.

”Apa sih pekerjaan kamu?” aku bertanya pada suatu senja.

”Pengusaha! Ya, apa saja kusikat. Yang penting semuanya jadi duit,” katanya usai minum bir, suatu saat di sebuah cafe di kotaku.

Aku melihat tatapannya yang tidak pasti. Bayangan kebohongan membersit di wajahnya. Aku tetap penasaran, ingin tahu pekerjaan dia yang sesungguhnya. Rasa ingin tahu itu telah membawaku memasuki ibu kota. Malam. Aku berdoa, dia tidak tahu ada seorang perempuan mengendap-endap menguntit dia. Untuk mencari jejaknya, aku hanya berbekal kata yang pernah dia ucapkan: Cafe Bulan Ungu, Hotel Hologram. Dia mengaku selalu minum di situ, bersama teman-temannya.

Malam belum pekat, ketika aku masuk ke Cafe Bulan Ungu dengan menyamar menjadi seorang laki-laki berkumis. Darahku terasa berhenti ketika melihat dia datang bersama dengan seorang perempuan, dengan baju berbelahan dada lebar. Kuamati percakapan dia dari jauh. Tampak, dia sangat serius membicarakan sesuatu. Entah apa. Lalu mereka pergi, naik mobil. Kukuntit mereka dengan naik taksi.

Mobil mereka berhenti di depan gedung parlemen yang tinggi dan besar. Seluruh dindingnya seperti terbuat dari cahaya. Mereka masuk. Kuikuti, dengan jarak dan langkah yang terjaga. Mereka masuk di sebuah ruang. Aku langsung mengambil posisi di dekat jendela ruangan besar itu. Aman.

Dari celah gordyn jendela kulihat dia dan perempuan itu disambut beberapa lelaki dan perempuan. Mereka langsung membicarakan sesuatu. Bukan kata-kata yang terdengar, tapi bola-bola api yang berpijar, yang keluar dari mulut mereka. Ada ratusan bola api yang berpendar-bendar memenuhi ruangan.

Di layar muncul bola-bola api yang membentuk deretan angka-angka. Lalu disusul bola-bola api yang membentuk huruf-huruf, kalimat-kalimat. Sekejap kemudian muncul wajah-wajah memelas, wajah-wajah kuyu-kusam yang berada di antara gubuk-gubuk reyot, jalanan becek, got mampat dan ribuan lalat.

”Anggaran untuk orang-orang malang ini sangat gede. Hampir 500 milyar. Kita bisa memainkannya,” kulihat mulut Ageni berucap melalui huruf-huruf yang menjelma menjadi bola-bola api.

Beberapa orang mengangguk, lalu tertawa. Bola-bola api memenuhi ruangan, lalu lenyap. Kulihat Ageni menggerakkan kedua tangannya. Angka 500 milyar itu sekejap terpecah dan terbelah. Tampak belasan orang membuka mulutnya. Lebar. Sangat lebar. Angka-angka bola api itu terhisap mulut-mulut mereka. Mulut Ageni menganga paling lebar dan menghisap paling kuat, hingga deretan angka yang dihisap pun lebih panjang. Perut mereka menggelembung, penuh sesak bola api.

Gambar-gambar lain muncul di layar: anak-anak berseragam sekolah, gedung-gedung sekolah yang ambruk, bayi-bayi dengan kepala besar dan mata melotot, ibu-ibu kurus, dan rumah sakit yang penuh sesak pasien. Lalu muncul anga-angka. Trilyunan. Sekejap kemudian tampak Ageni menggerakkan tangannya. Angka trilyunan itu terpelah, terpecah dan terburai. Lalu belasan mulut mengaga mengisap angka-angka itu. Mataku terasa pedih. Perutku terasa mual. Kepalaku pusing.

Seperti biasa, senja itu Ageni menemuiku di beranda rumahku. Dia membawa bola-bola api yang dibungkus kertas kado yang tak bisa terbakar.

”Kita menikah.” Dia memelukku.

Tanganku meraba punggungnya. Kurasakan tanganku menyentuh bulu-bulu yang keras dan kasar. Lalu kugenggam jari-jemarinya. Kurasakan, ada kuku-kuku panjang menyentuh telapak tanganku. Kutatap wajahnya. Aku melihat di antara deretan giginya yang putih berkilau tumbuh taring, makin lama makin panjang. Aku ingin menikam jantungnya, tapi tak kutemukan belati atau pisau lipat.

Yogyakarta, 2014


-S.a.H-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar