Gadis yang dilewati kendaraannya merenda
depan jendela menggangtungkan harimuka dan
anggur hidupnya pada penantian lelaki
petualangan yang jauh pada siapa dulu telah
ia serahkan kendarannya yang agung
Janjinya kembali di Tahun Baru belum juga terpenuhi.
(lelaki itu tak punya pos dan pangkalan)
Ia menanti depan jendela, dilewati kendaraannya.
Kereta mati membawa ibunya, di belakangnya
tiga Tahun Baru pula tiba.
Usia sendiri meningkat juga di tiap pemunculan bulan muda.
Ia menanti depan jendela, terurai rambutnya.
Kail cinta membenam pada rabu,
dilahirkan ke lubuk-lubuk yang dalam
tiada terlepas juga dan tetes darahnya
diulur kembali ke dada.
Ia menanti depan jendela, tetes hujan
merambat di kaca.
Adik-adiknya sudah dulu ke alter,
dada diganduli bayi dan lelaki
lukanya menandingi dirinya dari tiap
pinangan pulang sia-sia.
Ia menanti depan jendela, ketuaan mengintip pada kaca.
Kandungan hatinya mengilukan jumlah kata
seperti kesigupan gua
sebuah rahasia yang hitam, apa kepercayaan apa dendam
ditatapnya ujung jalan, kaki langit yang sepi
menelan segala senyumnya.
Ia menanti depan jendela,
rambutnya mengelabu juga.
Dendamnya telah dibalaskan pada tiap
lelaki yang ingin dirinya
sebuah demi sebuah khayal merajai dirinya
makin bersilang parit-parit di wajah,
beracun bulu matanya
tatapan dari matanya menggua membakar ujung jalan
Ia menanti tidak lagi oleh cinta.
Ia menanti di bawah jendela, dikubur
ditumbuhi bunga bertuba.
Dendamnya yang suci memaksanya menanti di situ
dikubur di bawah jendela.
(W.S. Rendra, Ballada Orang-orang Tercinta)
S.A.H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar