widgets

Senin, 14 April 2014

Cinta Jangan Kau Pergi




    Masih dengan linangan-linangan air mata yang jatuh membasahi pipiku. Memakan beberapa biji popcorn yang baru saja ku ambil dari lemari es. Sambil melihat film di tv yang tidak dapat ku serap apa alur cerita dari film yang ku tonton ini? Aku masih sedih dengan kejadian kemarin! Setelah apa yang sudah Reno lakukan padaku.
Kulihat Reno bergandengan tangan dan bermesraan dengan sahabatku sendiri. Namun Reno melihatku telah memergokinya, alhasil dia mencoba mengejarku. Aku menangis tak kuat melihat kejadian ini. Aku berlari sekuat tenaga, Reno terus mengejarku. Tapi aku tidak ingin Reno mencegah ku pulang. Aku segera memasuki mobil Yaris warna putihku. Reno sempat mengetuk-ngetuk kaca jendela mobilku untuk meminta maaf. Aku tetap tidak menghiraukan Reno. Segera ku jalankan laju mobilku untuk menghindari Reno.
Hari ini memang hari yang paling buruk dalam sejarah hidupku! Kebetulan hari ini cuaca cerah. Aku ingin sekali untuk bermain basket di halaman depan rumahku.         Aku ingin menenangkan hatiku yang telah hancur oleh sikap Reno.
Segera ku ambil bola basketku. Kumatikan tv, dan segera menuju ke halaman depan rumahku untuk bermain basket.
Sebelum aku bermain bola basket, sejenak aku ingin sekali pemanasan dulu. Tiba-tiba seorang laki-laki berjalan di depan rumahku. Dia memakai jacket abu-abu, memakai ipod, sambil membaca sebuah novel.

Tak tahu mengapa? Hatiku yang tadinya perih karena Reno seolah tenang melihatnya. Tingkahnya yang penuh gaya, membuatku terpesona seketika itu juga! Siapa ya dia? Di mana rumahnya? Kenapa aku belum pernah melihat laki-laki itu? apakah dia tetangga baruku?

Ketika ku lihat langkah laki-laki itu dia seperti berjalan ke arah rumah di sampingku. Ternyata benar, sekarang dia menjadi tetengga baruku! Dia tinggal tepat di samping rumahku! Ops! Kenapa aku jadi senang sendiri begini ya…? Masa aku mencintai laki-laki itu! ga mungkin! Ngaco deh aku ini! Kenalan aja belum, hihihi…

******

Mentari pagi datang menyambut duniaku yang ceria tanpa Reno. Seperti biasa suasana hari ini adalah suasana yang amat cerah. Udaranya yang sejuk membuatku semangat bangun pagi hari ini. Apalagi hari ini kan hari minggu!
“Hoah…!” kataku seraya memuletkan tubuhku. Aku terpikirkan oleh laki-laki yang tinggal di sebelah rumahku. Aku segera membuka gorden kamarku. Sesekali kulihat rumah di sampingku itu. Ternyata laki-laki itu sedang bermain basket di halaman belakang rumahnya.
Hingga laki-laki itu menatap ke arahku tajam dari arahnya berdiri. Dia seolah melihat diriku, yang sedang mengintipnya. Aku pun takut, segera aku meninggalkan jendela dan mulai bergegas mandi.
            Aku sudah selesai mandi. Dengan berbalut handuk, aku pun segera berganti pakaian. Dengan tangtop berwarna merah dan celana jeans selutut. Kini tinggal aku menghias rambutku yang tergurai panjang dengan jepit rambut bentuk bunga berwarna ungu.
“Selesai sudah!” seruku memuji diri sendiri.
Aku segera menuruni anak tangga untuk menuju garasi mobil untuk mengambil sepeda kesayanganku.
Mulailah aku menyusuri komplek dengan bersepeda. Lagi-lagi pandanganku tertuju pada rumah di sampingku.

Aku berpikiran, apa lebih baik mungkin aku main ke rumah ini saja ya? Ah iya deh! Sekalian berkenalan!

Aku meninggalkan sepedaku di depan rumah laki-laki itu. dan segera masuk ke rumahnya.
“Tok!Tok!Tok!”
Suara pintu yang kuketuk di rumah laki-laki itu. Tak seberapa lama, pintu itu pun terbuka dengan diiringinya kemunculan laki-laki itu.
“Selamat pagi. Em, ada apa ya?” ujar laki-laki itu bingung.
“Selamat pagi. Em… gini ,aku boleh enggak main ke rumahmu ini!” ujarku ragu.
“Oh… boleh! Ayo, masuk,” ujar laki-laki itu ramah.
Akhirnya aku dipersilahkan duduk di kursi sofanya. Akhirnya perbincanganku dengan laki-laki itu dimulai darinya.
“Oh ya, kamu itu gadis yang ngintip aku, ketika aku sedang bermain basket di halaman belakang rumahku ini kan?” ujar laki-laki itu menebak.
“Aduh! Ketahuan deh! Sorry ya, aku Cuma heran sama kamu. Kamu ini baru pindahan ke komplek ini ya?” ujarku bingung dengan dahi berkerut.
“O, aku ini memang pindahan dari Samarinda. Soalnya ayah aku lagi ada tugas di sini!” tutur laki-laki itu menjelaskan.
“O……!!!” ujarku ber O panjang. Mengartikan bahwa aku mengerti.
“Oh, ya dari tadi kita bicara, tapi kita belum kenalin nama kita ya. Kenalin kalo gitu, namaku Rezza!” ujar Rezza seraya mengulurkan tangannya sambil tersenyum dan menatapku tajam.
“Oh, Rezza to…! Kalo gitu namaku Cinta.” ujarku seraya menerima jabatan tangan dari Rezza.
“Hm, nama yang indah untuk gadis secantik kamu!” ujar Rezza hingga membuat pipiku merah karena tersipu malu.
Setelah lama kami berbincang-bincang. Tiba-tiba Rezza berbicara yang aneh padaku hingga membuatku “GR” sekaligus sedih.
“O ya Rin! Wajah kamu ini, jika dilihat sekilas atau dari samping. Mirip deh sama kekasihku dulu! Namanya Rose! Tapi sayang, tuhan telah berkata lain. Dia menderita penyakit leukimia, hingga akhirnya dia harus pergi dari sisiku” ujar Rezza dengan mata mulai memerah.
“Aku ikut merasa kehilangan ya Za!” ujarku seraya menitihkan setetes air mata, karena tak kuat mendengar cerita dari Rezza. Hingga membuatku terharu.
“Aduh! Sorry ya Cin. Gara-gara aku, kamu jadi ikut-ikutan sedih!” ujar Rezza merasa bersalah seraya menghapus setetes linangan air mata yang sempat jatuh ke pipinya. Tapi aku tidak menganggap ini semua salah Rezza.
“Enggak kok Za, aku ga apa-apa kok! Lagian aku jadi ikut bisa merasakan betapa sedih dan rapuhnya hati seseorang ketika di tinggal pergi oleh orang yang dia sayangi untuk selama-lamanya!” ujarku panjang lebar untuk menenangkan hati Rezza.
Akhirnya jam di dinding rumah Rezza sudah menunjukan pukul 12.00 siang. Aku segera berpamitan pulang pada Rezza.
Mulai saat itu aku sering kali pergi ke rumah Rezza untuk sekedar bermain basket dan berbincang-bincang dengannya sambil menikmati lezatnya secangkir teh hangat.

******

Hari ini betul-betul membuatku sedih. Papa dan Mama menyuruhku untuk kuliah di London. Sebenarnya aku tidak ingin sekolah hingga ke luar negeri. Aku ingin bisa sekolah di Jakarta saja. Sungguh hari ini aku sungguh hancur. Aku teringat akan Rezza. Aku ingin melampiaskan semua kesedihanku saat ini padanya.
Sambil menahan tangis, aku segera berlari ke arah rumah Rezza, aku tak perduli walau hujan sedang menari di luar rumahku.
“Rezza, Rezza, bukaiin pintunya Rezza…, aku butuh kamu! Hiks, hiks, hiks!” ujarku seraya mengketuk-ketuk pintu rumah Rezza.
“Cinta! Kamu kenapa Cin? Kenapa kamu basah kuyup kaya gini?” ujar Rezza seraya memegang kedua bahuku.
Aku sudah tak kuat lagi. Aku ingin memeluk Rezza. Aku ingin cerita semua ini ke Rezza. Akhirnya kupeluk tubuh Rezza erat.
“Ya sudah, ayo kita masuk dulu. Aku akan buatkan teh hangat buat kamu!” ujar Rezza seraya menuntunku masuk ke rumahnya.

******

Rezza meletakkan handuk kering ke tubuhku. Entah mengapa aku merasa hangat dan tenang ketika bersama Rezza? Rezza pun datang kembali ke sofa di mana aku duduk sambil menggigil kedinginan. Ia memberi secangkir teh hangat padaku.
“Cinta. Sebenarnya ada apa sih? Kenapa kamu menangis?” ujar Rezza khawatir.
Akhirnya aku menjelaskan semuanya pada Rezza. Rezza mengerti semua yang aku ceritakan padaku dia pengertian dan sayang padaku. “Cin, kalau kamu mau menangis. menangislah sekarang, menangislah sepuas yang kamu mau! Keluarkan semua kesedihan kamu sekarang!” ujar Rezza seraya memeluk tubuhku erat.
Aku pun menangis dalam pelukan Rezza. Aku hanyut dalam pelukan Rezza. Oh tuhan, sebenarnya aku sayang pada Rezza.

******
Dua bulan telah berlalu. Aku diantar oleh Rezza ke bandara dengan mobilnya, aku pun berpamitan pada Mama dan Papa. Walau sepertinya aku benci pada mereka, semua ini demi masa depanku.
Akhirnya aku pun sudah sampai di bandara. Namun aku sama sekali tidak punya semangat sedikitpun. Untungnya Rezza yang selalu ada untukku, segera menyemangatiku.
“Cin, kamu harus semangat! Ini semua, kan demi masa depan kamu. Pokoknya kamu ga boleh sedih. Lihat deh, temen-temen sekeliling kamu yang kurang mampu untuk biaya sekolah ke luar negeri. Seharusnya kamu bangga bisa sekolah keluar negeri. Ya kan!” ujar Rezza menyemangatiku panjang lebar tiada jeda.
“Terima kasih ya Za! Kamu memang sahabat aku yang paling istimewa!” ujarku seraya tersenyum walau belum 100% sempurna.
“Cinta! Aku mau bilang sesuatu sama kamu! Sebelum kamu pergi. Dan aku juga mau kasih sesuatu untuk kamu!” ujar Rezza seraya memberiku sebuah kalung berliontin kupu-kupu.
“Ya ampun Rezza! Terima kasih banget ya…!” ujarku senang.
“Cinta, aku mau mengatakan, kalau aku cinta dan sayang sama kamu! Cinta, sebelum kamu pergi, aku mau kamu terima cinta aku?” ujar Rezza seraya menatap mataku tajam.
Aku sempat berpikir panjang. Tapi aku tersadarkan. Karena aku juga mencintai Rezza. Aku mau nerima cinta Rezza. Sebelum aku benar-benar gagal memiliki cinta Rezza.
“Aku mau!” ujarku tersenyum.
Rezza seperti tidak bisa berkata apa-apa matanya berkaca-kaca. Tapi ia segera memeluk tubuhku untuk melampiaskan semua kegembiraanya. Akhirnya Rezza memasangkan kalung itu ke leherku.
“Cinta, inget ya! Kamu harus pulang untuk keluargamu dan untuk aku nanti! Aku enggak mau kesepian, karena enggak ada kamu. Aku seperti enggak bisa hidup tanpa kamu!” ujar Rezza seraya mulai menitihkan setetes air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya.
“Rezza, aku pasti pulang untuk kamu! Aku janji!” ujarku tersenyum dan menangis tak menentu.
Akhirnya pesawat yang akan mengantarku ke London datang juga. Aku segera mengucapkan selamat tinggal pada Rezza. Aku melambaikan tanganku ke arahnya, begitu juga dengan Rezza.

******

Aku dimana? Dimana aku? Mengapa dunia ini penuh dengan cahaya putih. Tadi kan aku masih dalam perjalanan menuju London. Aku bingung. Tiba-tiba seberkas cahaya datang ke arahku. Aku sempat merasa ketakutan. Tapi cahaya itu bicara padaku. “Apakah benar? Namamu adalah Cinta?” ujar cahaya tersebut.
Aku hanya mengangguk kecil pada sebuah cahaya tersebut. “Dan dimana aku sekarang?” ujarku bingung
“Cinta, kau sedang berada di dunia yang lain dari kehidupanmu. Kamu sudah berada di surga!” ujar suara itu mengagetkaknku.
“Apa! maksudnya aku sudah meninggal! Tidak, ini tidak mungkin! Aku masih hidup! Aku masih hidup! Rezza! Ya, Rezza! Dimana Rezza?” ujarku dengan raut wajah sungguh tidak percaya seraya mulai menangis kebingungan.menacari Rezza.
“Cinta, percayalah! Kamu ini sudah meninggal, duniamu sekarang ini sudah berbeda dengan Rezza! Kamu meninggal karena pesawat yang kau tumpangi terjatuh ke dasar laut dan mengapung. Percayalah, kau sudah meninggal!” ujar cahaya tersebut menjelaskan namun geram.
“Kalau begitu buktikan padaku! Bahwa aku memang benar-benar sudah meninggal!” ujarku tak kalah geram dan kesal pada cahaya aneh tersebut. Aku ingin membuktikan bahwa aku memang benar-benar sudah meninggal. Walau dengan perasaan yang ragu. Bagaimana bila perkataan cahaya itu benar? Bahwa aku memang benar-benar sudah meninggal. Tapi aku percaya bahwa aku belum meninggal! Aku harus pulang untuk Rezza.
Akhirnya cahaya itu mengantarku ke sebuah lubang bercahaya putih, hinggga pengelihatanku menjadi silau.
“Masuklah! Kau akan bisa membuktikan, benar atau tidaknya kau sudah meninggal. Sekarang masuklah! Waktumu tidak lama! Aku akan kembali menjemputmu nanti!” ujar cahaya itu menjelaskan.
Dalam hitungan detik aku pun segera meloncati lubang bercahaya putih tersebut. Awalnya memang sedikit takut. Tapi mau bagaimana lagi. Aku harus bertemu Rezza dan aku harus membuktikan bahwa aku memang belum benar-benar meninggal. Ku harap perkataan cahaya tadi tidak benar!
Akhirnya aku sampai di depan rumahku. Namun mengapa banyak sekali orang di rumahku? Apa mama sedang ada arisan di rumah? Mengapa ada bendera warna kuning di depan rumahku? Hatiku terus bertanya-tanya. Dari pada aku terus bertanya-tanya sendiri lebih baik aku segera memasuki rumahku.
“Rezza!” ujarku bahagia melihat Rezza. Aku ingin memeluknya. Tapi mengapa? Aku tidak bisa memeluk Rezza. Kucoba dan terus ku coba. Tapi tetap tidak bisa! Ku coba berulang kali memanggilnya. Tapi ia seolah tidak mendengarku.
“ Kamu kenapa Za? Ini aku Cinta! Kekasih kamu! Tolong! Tolong dengerin aku Za…! Kamu kenapa nangis…?” ujarku bingung. Mengapa Rezza menangis? Ia tidak menghiraukanku!
Aku terkaget melihat seorang gadis dengan wajahnya yang pucat pasi sedang tertidur untuk selamanya di dalam peti berwarna putih. Gadis itu aku! Tidak! Ini tidak mungkin!!! Aku terus memandangi gadis itu. ternyata benar, gadis itu memang benar-benar aku! Sebuah kalung yang sempat Rezza berikan padaku, sedang berada di leher gadis itu.
Berarti aku memang sebuah arwah dari tubuhku yang sedang terbaring tak bernapas di dalam peti saat ini. Pantas saja, Rezza tak bisa mendengarku, Rezza tidak bisa melihatku. Karena aku memang seorang arwah dari tubuhku yang sudah meninggal.
“Cinta!!! Kenapa kamu pergi ninggalin aku? Kamu pernah berjanji kan padaku sebelum kamu berangkat ke London. Bahwa kamu akan pulang dengan selamat untuk aku! Cinta kamu jangan pergi ninggalin aku…! ” ujar Rezza dengan banyaknya bekas linangan air mata di pipinya.
“Aku di sini Za…! Aku pulang untuk kamu…!” aku tahu bahwa ucapanku sia-sia. Rezza tetap tidak bisa mendengar dan melihatku.
Aku terus meratapi wajah Rezza yang sedih. Ia seperti depresi akan hal ini. Mungkin hatinya saat ini sedang hancur sekali! Maafkan aku Rezza! Aku harus pergi. Tapi kamu akan selalu tetap di hatiku.
Suasana haru dan isak tangis keluargaku termasuk Rezza, seketika itu pun menjadi bertambah haru dan menyedihkan. Ketika sinar yang pernah kutemui di surga datang menjemputku. “Bagaimana kau sudah percaya?” ujar cahaya tersebut bijak.
“Mau tidak mau! Aku harus percaya!” ujarku masih dengan linangan-linangan air mata dan masih dengan perasaan yang amat sangat hancur.
“Selamat tinggal Rezza! Selamat tinggal semuanya…!!!” ujarku seraya lenyap dari kehidupanku yang normal terbawa oleh sinar yang datang menjemputku. Kini aku harus kembali ke surga. Bersama bayanganmu.



Karya : Savira Fiannisa
S.a.H 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar