widgets

Minggu, 06 April 2014

Perempuan Berhijab Panjang


Assalamu'alaykum sobat,
kali ini saya akan nge-share cerpen buatan saya sendiri yang berjudul "PEREMPUAN BERHIJAB PANJANG", ya lumayanlah bisa meraih juara 4 dalam lomba cerpen sma se- Labuhan Batu, walaupun cerpennya masih bisa dibilang amatiran...hehe
Cerpen ini terinspirasi dari style teman saya...THANKS FOR YOU

langsung aja sobat, treng...treeeeng...


Perempuan Berhijab Panjang

 

Aku terbangun dari lamunanku tentang perempuan yang kutemui di perpustakaan siang  tadi. Aku masih saja memikirkannya walaupun kaki sudah melangkah menaiki tangga menuju ke kelas. Aku tidak tahu apa yang membuatku seperti itu. Sampai-sampai aku menabrak pintu kelas karena memikirkannya. “Aduh...” Teriakku kaget. Ternyata pintu sudah menabrak kepala, eh kepala yang menabrak pintu. Temanku, Dila yang sedari tadi memperhatikanku tertawa kecil melihat tingkah lakuku itu. “Woy tampan, apa hal kau nih ?” Sok dialek Melayu. Aku diam sejenak dan tersenyum kecil tatkala temanku itu menyapa. “Ha ? gak ada apa-apa kok,” Tipuku. Dengan wajahku yang memerah, Dila langsung tahu keadaanku yang sebenarnya. “Halah, jangan pura-pura Fiz. Aku tahu gimana gelagat cowok yang lagi jatuh cinta plus mikirin cewek. Udah, akui ajalah.” Godanya. Sambil tersenyum, aku tidak menggubris perkataannya dan langsung masuk ke kelas karena les akan dimulai.


            Keesokan harinya, di waktu yang sama, aku pergi ke perpustakaan yang biasa aku kunjungi seraya berharap bisa bertemu dengan perempuan berhijab panjang itu lagi. Cantik, soleha, benar-benar membuatku jatuh cinta. Sambil melihat buku-buku yang hendak kubaca, entah mengapa hati ini memerintah untuk menoleh ke belakang. Aku mengikuti kata hatiku dan Subhanallah, bidadari itu datang lagi seolah hendak menghampiriku. Hati ini berdegub kencang sampai-sampai mau pingsan rasanya. Ternyata dia dengan anggunnya duduk di kursi yang tidak jauh dariku sambil membaca buku tentang penyakit kanker. Aku berpikir mungkin dia jurusan IPA sehingga dia membaca buku yang berbau dengan medis. Aku meliriknya sesekali. Tanpa pikir panjang, aku memberanikan diri untuk mendekatinya. “Assalamu’alaikum.” Sapaku. “Wa’alaikumsalam.” Jawabnya. “Kalau boleh saya gak tahu, eh kalau boleh saya tahu, nama kamu siapa ?” Berlagak humoris. “Nama saya Annisa, kamu ?” Balik bertanya. “Saya Hafiz.” Jawabku. Akhirnya kami mengobrol panjang lebar berhubung di perpustakaan itu lagi sepi. Tak terasa hubungan kami semakin dekat dan timbullah benih-benih cinta di antara kami.


            Aku tahu dia anak yang baik. Terbukti dari cara dia berbicara yang lembut dan santun. Aku ingin sekali selalu berada di sampingnya. Nyaman. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta ? Aku pun masih bingung menjawabnya. Tapi perasaanku terhadapnya sepertinya memang real. Semenjak itu, aku semakin gencar mencari informasi tentang Annisa. Setelah lama mencari informasi, ternyata dia anak seorang Jendral TNI AD. “Waduh, gawat nih. Bapaknya pasti galak,” gumamku. Dengan muka hilang harapan, aku pulang ke rumah disambut adzan yang sedang berkumandang.

            “Darimana aja kamu Fiz ? Kok lama kali pulangnya.” Ibuku menyapa. Dengan muka yang tak elok dilihat, aku pun masuk ke kamar tanpa menggubris ibuku. Ibuku menggeleng kepala sambil keheranan dengan sikapku.

            Aku sudah tahu dimana alamat rumahnya. Dengan memberanikan diri, ku datangi rumahnya. “Assalamu’alaikum.”Ucapku sedikit keras sambil mengetuk pintu. Tak ada sahutan. “As...” Salamku terhenti karena ada seseorang yang membuka pintu. Seorang wanita setengah baya. “Annisa ada bu ?” Tanya ku. “Gak ada Den, dia lagi di rumah sakit.” Aku pun terkejut dengan perkataan ibu ini. “Memangnya dia sakit apa bu ?”Tanyaku. Wanita setengah baya itu tampaknya sedih. Ia menyuruhku untuk masuk ke dalam rumah. Sambil menangis ibu itu menceritakan semua yang ia tahu tentang Annisa. Ternyata ibu ini adalah pembantu di keluarga Annisa. Kami saling mengobrol. Betapa terkejutnya aku bahwa Annisa terkena kanker otak stadium tiga. Seketika hatiku sedih tak karuan. Aku langsung pamit dan bergegas menuju rumah sakit.


            Setelah sampai di rumah sakit, Aku langsung ke bagian resepsionis untuk mencari informasi tentang dimana Annisa dirawat. “Annisa di ruangan Mawar nomor 5.” Kata suster resepsionis. “Terimakasih Sus.” Jawabku lalu bergegas ke ruangan tempat Annisa dirawat. Aku menghampiri Annisa yang terkulai lemas di atas tempat tidur itu. Sedih rasanya. Orang yang dicintai lemah tak berdaya. “Annisa.” Memanggil Annisa. Annisa terkejut dengan kehadiranku. Terlintas senyum tipis di bibirnya. “Ngapain kamu disini ?” Tanya Annisa sambil terkejut. “Ya untuk menghampiri pujaan hati. “ Godaku sambil tersenyum. “Mengapa kamu tidak memberitahuku tentang keadaanmu ?” Lanjutku bertanya. Annisa diam sejenak lalu berbicara, “Maaf, aku tidak menceritakan hal ini kepadamu. Aku tidak mau membuat kamu bersedih.” Aku hanya terdiam dengan perkataan Annisa. Ya, haru yang kurasakan setelah ia mengatakan hal itu. Betapa besar jiwanya memperhatikan perasaan orang lain. “Kalau butuh apa-apa, panggil aku saja ya.” Ucapku. Annisa hanya tersenyum.


            Telah tiga hari Annisa dirawat di rumah sakit. Sepulang sekolah aku langsung menjenguknya. Khawatir dengan keadaannya. Begitulah rutinitas yang kulakukan ketika Annisa sakit. Setelah seminggu lamanya, Annisa telah boleh pulang. Aku mendampinginya bersama dengan orangtuanya.

            “Terimakasih nak karena sudah menjenguk Annisa selama ini,” Tutur ibu Annisa. “Sama-sama bu, sudah menjadi kewajiban saya sebagai temannya.” Balasku. Sebenarnya aku suka dengan Annisa. Tapi melihat keadaanku sekarang yang masih kelas tiga SMA, aku menahan diri untuk tidak mengatakannya. Kurasa perasaan Annisa sama sepertiku. Saling menyukai. Tapi wanita sholeha mana yang ingin pacaran ? Aku saja sebagai cowok sejati gak mau tuh pacaran. Gak baik, sama aja zina.


            Hari demi hari bergulir dengan cepatnya. Ilalang telah menampakkan kesenjaan di wajahnya. Terlihat diri ini semakin dewasa. Ya, ujian akhir telah berkumandang. Rutinitas siswa berlarian mengejar cerahnya masa depan. Begitu juga aku dan Annisa. Sama-sama ingin meraih cita-cita. Aku ingin menjadi akuntan dan Annisa ingin menjadi dokter. Kami berusaha keras. Pikiranku teringat pada penyakit Annisa, apakah sudah sembuh atau belum. Namun di akhir pertemuan sebelum pergi merantau untuk melanjutkan ke Universitas, dia memberi pesan padaku. “Jaga dirimu baik-baik. Kalau kita memang berjodoh, kita pasti akan bertemu lagi di keridhoan-Nya. Bersatu dalam pernikahan yang suci.” Tutur Annisa. Aku hanya bisa terkesima dengan perkataan Annisa itu. Harapan untuk bertemu dengannya di kemudian hari selalu tertanam di hati.


            Kami pun berpisah sesuai dengan tujuan masing-masing yaitu masuk di Universitas yang dinginkan. Permasalahan yang menghampiri anak mahasiswa pun tak terelakkan. Namanya mahasiswa. Kalau gak ada masalah seputar tugas mahasiswa, ya gak anak mahasiswa namanya. Apalagi kalau dosennya luar biasa galak, aduh bikin gak enak perasaan.


            Setelah empat tahun lamanya, aku telah lulus menjadi Sarjana Ekonomi. Aku langsung ditempatkan di salah satu instansi pemerintah sebagi seorang akuntan. Melihat kesuksesanku ini, aku teringat pada wanita berhijab panjang yang kukenal empat tahun lalu. “Apa dia baik-baik saja ya disana ? Atau apakah ia sudah menjadi seorang dokter ?” Gumamku. Aku segera mencari informasi tentang Annisa. Kembali ke kampung halaman. Aku bergegas ke rumah Annisa dan ternyata dia belum kembali dari perantauannya. Agak sedikit murung, aku berjalan pulang ke rumah. Ketika ingin kembali ke tempat kerja di luar kota, aku melihat seorang wanita yang mirip dengan Annisa di dalam pesawat. Aku langsung menghampirinya. “Annisa.” Sapaku. “Hafiz.” Balasnya. “Gimana keadaanmu sekarang ?” “Oh itu, aku baik-baik saja.” Jawabnya. Saat itu kami mengobrol seputar pengalaman perkuliahan. Ternyata dia menjadi seorang guru. Melenceng dari cita-citanya semula. Kebetulan tujuan kami sama yaitu Jakarta. Kami berbagi alamat rumah satu sama lain.


            Sejak saat itu, kalimat cinta lama bersemi kembali itu muncul. Ya, seperti itulah kami sekarang. Saling mencintai satu sama lain. Di samping hijabnya yang terurai terkena sapaan angin itu, aku mengatakan sesuatu padanya. “Aku akan melamarmu Annisa. Apakah kau mau menjadi istriku ?” Seketika Annisa tersenyum berbeda dari senyuman biasa. “Aku mau.” Jawab Annisa malu-malu. Sesaat setelah itu, Annisa tiba-tiba pingsan. Aku panik dan langsung membawanya ke rumah sakit. Penyakit lamanya kambuh dan sudah memasuki stadium empat. Aku sedih dengan keadaannya. Dokter bilang ia harus segera dioperasi. Kalau tidak, dia tidak akan bertahan lagi.

Beberapa jam menunggu, akhirnya operasi selesai. Dokter menghampiriku dan berkata bahwa Annisa tidak tertolong lagi. Sudah terlalu parah. Seketika Aku lemas mendengarnya. Menangis. Kesedihan yang teramat sangat. Wanita sholeha yang dicintai telah meninggal. “Mengapa ini semua terjadi !” Teriakku dalam hati. “Mengapa bukan aku saja yang menggantikannya !”. Kini hatiku hancur tak bersisa.   



                                                 Penulis

                                                      Baslan Syahputra 
                                                     S.A.H                                                                                                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar