Assalamu'alaykum sobat,
kali ini saya akan nge-share cerpen buatan saya sendiri yang berjudul "PEREMPUAN BERHIJAB PANJANG", ya lumayanlah bisa meraih juara 4 dalam lomba cerpen sma se- Labuhan Batu, walaupun cerpennya masih bisa dibilang amatiran...hehe
Cerpen ini terinspirasi dari style teman saya...THANKS FOR YOU
langsung aja sobat, treng...treeeeng...
Perempuan Berhijab Panjang
Aku terbangun dari
lamunanku tentang perempuan yang kutemui di perpustakaan siang tadi. Aku masih saja memikirkannya walaupun
kaki sudah melangkah menaiki tangga menuju ke kelas. Aku tidak tahu apa yang
membuatku seperti itu. Sampai-sampai aku menabrak pintu kelas karena
memikirkannya. “Aduh...” Teriakku kaget. Ternyata pintu sudah menabrak kepala,
eh kepala yang menabrak pintu. Temanku, Dila yang sedari tadi memperhatikanku
tertawa kecil melihat tingkah lakuku itu. “Woy tampan, apa hal kau nih ?” Sok
dialek Melayu. Aku diam sejenak dan tersenyum kecil tatkala temanku itu
menyapa. “Ha ? gak ada apa-apa kok,” Tipuku. Dengan wajahku yang memerah, Dila
langsung tahu keadaanku yang sebenarnya. “Halah, jangan pura-pura Fiz. Aku tahu
gimana gelagat cowok yang lagi jatuh cinta plus mikirin cewek. Udah, akui
ajalah.” Godanya. Sambil tersenyum, aku tidak menggubris perkataannya dan
langsung masuk ke kelas karena les akan dimulai.
Keesokan harinya, di waktu yang sama, aku pergi ke
perpustakaan yang biasa aku kunjungi seraya berharap bisa bertemu dengan
perempuan berhijab panjang itu lagi. Cantik, soleha, benar-benar membuatku
jatuh cinta. Sambil melihat buku-buku yang hendak kubaca, entah mengapa hati
ini memerintah untuk menoleh ke belakang. Aku mengikuti kata hatiku dan
Subhanallah, bidadari itu datang lagi seolah hendak menghampiriku. Hati ini
berdegub kencang sampai-sampai mau pingsan rasanya. Ternyata dia dengan
anggunnya duduk di kursi yang tidak jauh dariku sambil membaca buku tentang
penyakit kanker. Aku berpikir mungkin dia jurusan IPA sehingga dia membaca buku
yang berbau dengan medis. Aku meliriknya sesekali. Tanpa pikir panjang, aku
memberanikan diri untuk mendekatinya. “Assalamu’alaikum.” Sapaku.
“Wa’alaikumsalam.” Jawabnya. “Kalau boleh saya gak tahu, eh kalau boleh saya
tahu, nama kamu siapa ?” Berlagak humoris. “Nama saya Annisa, kamu ?” Balik
bertanya. “Saya Hafiz.” Jawabku. Akhirnya kami mengobrol panjang lebar
berhubung di perpustakaan itu lagi sepi. Tak terasa hubungan kami semakin dekat
dan timbullah benih-benih cinta di antara kami.
Aku tahu dia anak yang baik. Terbukti dari cara dia
berbicara yang lembut dan santun. Aku ingin sekali selalu berada di sampingnya.
Nyaman. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta ? Aku pun masih bingung
menjawabnya. Tapi perasaanku terhadapnya sepertinya memang real. Semenjak itu, aku semakin gencar mencari informasi tentang
Annisa. Setelah lama mencari informasi, ternyata dia anak seorang Jendral TNI
AD. “Waduh, gawat nih. Bapaknya pasti galak,” gumamku. Dengan muka hilang
harapan, aku pulang ke rumah disambut adzan yang sedang berkumandang.
“Darimana aja kamu Fiz ? Kok lama kali pulangnya.” Ibuku
menyapa. Dengan muka yang tak elok dilihat, aku pun masuk ke kamar tanpa
menggubris ibuku. Ibuku menggeleng kepala sambil keheranan dengan sikapku.
Aku sudah tahu dimana alamat rumahnya. Dengan
memberanikan diri, ku datangi rumahnya. “Assalamu’alaikum.”Ucapku sedikit keras
sambil mengetuk pintu. Tak ada sahutan. “As...” Salamku terhenti karena ada seseorang
yang membuka pintu. Seorang wanita setengah baya. “Annisa ada bu ?” Tanya ku.
“Gak ada Den, dia lagi di rumah sakit.” Aku pun terkejut dengan perkataan ibu
ini. “Memangnya dia sakit apa bu ?”Tanyaku. Wanita setengah baya itu tampaknya
sedih. Ia menyuruhku untuk masuk ke dalam rumah. Sambil menangis ibu itu
menceritakan semua yang ia tahu tentang Annisa. Ternyata ibu ini adalah
pembantu di keluarga Annisa. Kami saling mengobrol. Betapa terkejutnya aku
bahwa Annisa terkena kanker otak stadium tiga. Seketika hatiku sedih tak
karuan. Aku langsung pamit dan bergegas menuju rumah sakit.
Setelah sampai di rumah sakit, Aku langsung ke bagian
resepsionis untuk mencari informasi tentang dimana Annisa dirawat. “Annisa di
ruangan Mawar nomor 5.” Kata suster resepsionis. “Terimakasih Sus.” Jawabku
lalu bergegas ke ruangan tempat Annisa dirawat. Aku menghampiri Annisa yang
terkulai lemas di atas tempat tidur itu. Sedih rasanya. Orang yang dicintai
lemah tak berdaya. “Annisa.” Memanggil Annisa. Annisa terkejut dengan
kehadiranku. Terlintas senyum tipis di bibirnya. “Ngapain kamu disini ?” Tanya
Annisa sambil terkejut. “Ya untuk menghampiri pujaan hati. “ Godaku sambil
tersenyum. “Mengapa kamu tidak memberitahuku tentang keadaanmu ?” Lanjutku
bertanya. Annisa diam sejenak lalu berbicara, “Maaf, aku tidak menceritakan hal
ini kepadamu. Aku tidak mau membuat kamu bersedih.” Aku hanya terdiam dengan perkataan
Annisa. Ya, haru yang kurasakan setelah ia mengatakan hal itu. Betapa besar
jiwanya memperhatikan perasaan orang lain. “Kalau butuh apa-apa, panggil aku
saja ya.” Ucapku. Annisa hanya tersenyum.
Telah tiga hari Annisa dirawat di rumah sakit. Sepulang
sekolah aku langsung menjenguknya. Khawatir dengan keadaannya. Begitulah
rutinitas yang kulakukan ketika Annisa sakit. Setelah seminggu lamanya, Annisa
telah boleh pulang. Aku mendampinginya bersama dengan orangtuanya.
“Terimakasih nak karena sudah menjenguk Annisa selama
ini,” Tutur ibu Annisa. “Sama-sama bu, sudah menjadi kewajiban saya sebagai
temannya.” Balasku. Sebenarnya aku suka dengan Annisa. Tapi melihat keadaanku
sekarang yang masih kelas tiga SMA, aku menahan diri untuk tidak mengatakannya.
Kurasa perasaan Annisa sama sepertiku. Saling menyukai. Tapi wanita sholeha
mana yang ingin pacaran ? Aku saja sebagai cowok sejati gak mau tuh pacaran.
Gak baik, sama aja zina.
Hari demi hari bergulir dengan cepatnya. Ilalang telah
menampakkan kesenjaan di wajahnya. Terlihat diri ini semakin dewasa. Ya, ujian
akhir telah berkumandang. Rutinitas siswa berlarian mengejar cerahnya masa
depan. Begitu juga aku dan Annisa. Sama-sama ingin meraih cita-cita. Aku ingin
menjadi akuntan dan Annisa ingin menjadi dokter. Kami berusaha keras. Pikiranku
teringat pada penyakit Annisa, apakah sudah sembuh atau belum. Namun di akhir
pertemuan sebelum pergi merantau untuk melanjutkan ke Universitas, dia memberi
pesan padaku. “Jaga dirimu baik-baik. Kalau kita memang berjodoh, kita pasti
akan bertemu lagi di keridhoan-Nya. Bersatu dalam pernikahan yang suci.” Tutur
Annisa. Aku hanya bisa terkesima dengan perkataan Annisa itu. Harapan untuk
bertemu dengannya di kemudian hari selalu tertanam di hati.
Kami pun berpisah sesuai dengan tujuan masing-masing
yaitu masuk di Universitas yang dinginkan. Permasalahan yang menghampiri anak
mahasiswa pun tak terelakkan. Namanya mahasiswa. Kalau gak ada masalah seputar
tugas mahasiswa, ya gak anak mahasiswa namanya. Apalagi kalau dosennya luar
biasa galak, aduh bikin gak enak perasaan.
Setelah empat tahun lamanya, aku telah lulus menjadi
Sarjana Ekonomi. Aku langsung ditempatkan di salah satu instansi pemerintah
sebagi seorang akuntan. Melihat kesuksesanku ini, aku teringat pada wanita
berhijab panjang yang kukenal empat tahun lalu. “Apa dia baik-baik saja ya
disana ? Atau apakah ia sudah menjadi seorang dokter ?” Gumamku. Aku segera
mencari informasi tentang Annisa. Kembali ke kampung halaman. Aku bergegas ke
rumah Annisa dan ternyata dia belum kembali dari perantauannya. Agak sedikit
murung, aku berjalan pulang ke rumah. Ketika ingin kembali ke tempat kerja di
luar kota, aku melihat seorang wanita yang mirip dengan Annisa di dalam
pesawat. Aku langsung menghampirinya. “Annisa.” Sapaku. “Hafiz.” Balasnya.
“Gimana keadaanmu sekarang ?” “Oh itu, aku baik-baik saja.” Jawabnya. Saat itu
kami mengobrol seputar pengalaman perkuliahan. Ternyata dia menjadi seorang
guru. Melenceng dari cita-citanya semula. Kebetulan tujuan kami sama yaitu
Jakarta. Kami berbagi alamat rumah satu sama lain.
Sejak saat itu, kalimat cinta lama bersemi kembali itu
muncul. Ya, seperti itulah kami sekarang. Saling mencintai satu sama lain. Di
samping hijabnya yang terurai terkena sapaan angin itu, aku mengatakan sesuatu
padanya. “Aku akan melamarmu Annisa. Apakah kau mau menjadi istriku ?” Seketika
Annisa tersenyum berbeda dari senyuman biasa. “Aku mau.” Jawab Annisa
malu-malu. Sesaat setelah itu, Annisa tiba-tiba pingsan. Aku panik dan langsung
membawanya ke rumah sakit. Penyakit lamanya kambuh dan sudah memasuki stadium
empat. Aku sedih dengan keadaannya. Dokter bilang ia harus segera dioperasi.
Kalau tidak, dia tidak akan bertahan lagi.
Beberapa jam menunggu, akhirnya operasi selesai. Dokter
menghampiriku dan berkata bahwa Annisa tidak tertolong lagi. Sudah terlalu
parah. Seketika Aku lemas mendengarnya. Menangis. Kesedihan yang teramat sangat.
Wanita sholeha yang dicintai telah meninggal. “Mengapa ini semua terjadi !”
Teriakku dalam hati. “Mengapa bukan aku saja yang menggantikannya !”. Kini
hatiku hancur tak bersisa.
Penulis
Baslan Syahputra
S.A.H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar