widgets

Rabu, 05 Februari 2014

Cerpen : Dalam Bangunan Tua

Assalamu'alaikum sobat Baslanymous,

Postingan kali ini saya berniat untuk mengulas cerpen yang satu ini.
Tapi cerpen ini ada serem-seremnya...

Langsung aja deh...
gitu aja kok repot...


Dalam Bangunan Tua

 

                Sesaat Irin tak bergeming dari tempatnya berdiri. Ternyata ilalang ini lebih menyeramkan dengan suasana begini. Bulan di atas tinggal sepotong. Ia sendiri nggak tau, mengapa tiba-tiba saja langkahnya terseret kemari.
Gedung tua yang malang, batin Irin. Bangunan ini begitu besar dan kokoh, tapi tersia siakan saja. Irin mendongakkan wajahnya. Di atas masih menggantung lonceng besar dengan warnanya yang terhebat di antara bangunan-bangunan lain.
Angin kembali bertiup kencang. Irin kembali menaikkan kerah jaketnya. Rambutnya meriap riap kesana kemari. Udara begitu dingin.
                Krieeekkk! Irin menyalakan senternya yang berukuran standar. Suara jangkrik semakin terdengar. “Bima!” Irin menekan suaranya sedemikian rupa. “Bima!” panggilnya sekali lagi.  Tak ada jawaban. Hanya suara binatang malam yang terdengar.
Irin nekat masuk. Di dalamnya, perabotan perabotan itu masih tertata seperti kemarin. Perhatian Irin tersita pada lukisan besar yang melenceng letaknya. Hampir seluruh gambarnya tertutup debu. Sayang sekali. Irin meraih lukisan itu, ia membersihkan dengan mengibas ibaskan tangannya.
                Tapi Irin tak menemukan apa apa disitu. Ternyata warna warnanya telah pudar. Bagian belakang lukisan itu sudah rusak dimakan rayap. Irin mendengus. Ia meletakkan lukisan itu begitu saja, di atas meja besar yang tertutup kain putih.
“Bimaaa!” Irin mendesis lebih keras. Ia masuk ruangan lain. Diamat-amati pintu besar dengan ukir-ukiran indah itu. Kalau bukan karena ego, sudah pasti Irin tak kan sudi datang ke tempat ini. Tempat yang menyeramkan tanpa cahaya. Seperti rumah hantu! Bulu kuduk Irin berdiri seketika. Sebenarnya ini memang menakutkan!
             Tempat ia tidak percaya sama omongan cowok itu. Dia bilang dia tinggal di tempat ini? Bah! Buktinya, sekarang pun dia belum juga muncul. Irin memutar tubuhnya. Dasar tuyul! Ia mau kembali.
              Tapi tiba tiba saja angin berhembus kencang. Irin menarik napas seketika. Ia garuk-garuk kepala. Aneh, pintu sebesar itu kok bisa nutup sendiri sih?
“Irin!”
               Irin menoleh. Seperti kemarin, ia mendapati Bima menuruni tangga dengan gerak badannya yang misterius. Di tangannya menyala sebuah lilin dengan tatakan antik. Tatapan Bima pun masih sama. Kosong! Uff! Irin menjatuhkan tubuhnya ke sofa besar di sampingnya.
“Kenapa?” Bima menghampiri Irin. Ia meletakkan lilinnya di atas meja bundar di samping pintu. Suasana tak sepekat tadi. “Kamu ngagetin aku!” Bima tersenyum. Ia duduk di samping Irin. “Kamu datang malam malam begini?” tanyanya.
Irin tak segera menjawab. Ia mematikan senternya yang sejak tadi menyala. “Aku ingin membuktikan ucapanmu. Benar nggak rumah kamu di sini?” “Dan sekarang kamu baru percaya kan?”
Irin malah menggeleng. Ia duduk seenaknya menyelonjorkan kakinya. Udara ruangan tak sedingin tadi. “Dalam remang-remang seperti ini Bim. Aku semakin yakin, kamu memang bukan orang sini.” Bima mengernyit. “Bukan orang sini?” “Terus terang wajahmu kebule-bulean. Nggak pantes menyamar jadi anak pelosok seperti yang kamu bilang.” Irin meringis. “Oya?” Mata Bima melebar. “Kalau begitu cocok kan? Dulunya tempat ini memang markas Belanda. Tapi, mm mana ada orang Belanda yang memakai nama Bima?” tanyanya sambil mengerutkan keningnya. “Alaaah, soal nama kan bisa diubah?” “Ooo, kamu mengira aku mengubah namaku?” Bima berdiri dari duduknya. Ia menyalakan tiga buah lilin sekaligus. Ruangan jadi terang benderang. “Bicaramu pun cadel” tuduh Irin.
                  Bima nggak menanggapi lagi. Ia menyingkapkan gorden panjang di depannya. Matanya menerawang jauh. Irin tak tau, apa yang sedang dipikirkan Bima. “Sejak lahir aku tinggal di sini. Akulah yang menjaga tempat ini.” gumam Bima.
Ah, mulai lagi dia. Berbicara untuk meyakinkan bahwa kemarin ia tidak membohongi Irin. “Keluargaku terkucil. Aku kesepian di sini. Lebih dari sepuluh tahun aku menunggu seorang teman.”
                “Ya, ya” Irin mengangguk. “Kamu sudah menceritakan semuanya kemarin.” Diikutinya langkah Bima. Ia berharap semoga saja kepura-puraan Bima cepat berakhir. Sambil membawa tiga buah lilin sekaligus, Bima menuntun Irin menyusuri lorong lorong panjang. Bangunan ini benar benar luas. Sekali lagi Irin celingak celinguk. Lorong-lorong ini seperti tak berujung. Mereka sampai pada ruangan kosong dengan satu meja.
“Sekarang tunjukkan padaku tempat itu!” “Apa?” Bima berkata tanpa memalingkan wajahnya. Untuk kesekian kalinya Irin menggeleng gelengkan kepala. Bahkan pada janjinya sendiri pun ia lupa. “Kemarin kamu ngomong kalau kamu bisa meramal pada tempat-tempat tertentu kan?” “Aaah ya!”
              “Nah sekarang buktikan padaku.” Cowok itu diam. Ia berhenti meletakkan lilinnya. Ia memejamkan matanya. Rupanya ia berusaha meyakinkan Irin. Tapi siapa yang percaya? Lama Bima tak membuka mulut. Ia mengernyit berusaha berkonsentrasi. Dengan senyum menertawakan, Irin terus memperhatikan cowok itu. “Sekarang aku tau siapa kamu.” Kata Bima sambil membuka matanya.
Masih dengan senyum, Irin membatin, “Tingkahnya sangat konyol”
“Nama lengkapmu Irine Saraswati. Lahir tanggal 10 Oktober 1997. Kamu sekarang sekolah di Smadela, dengan nomor absen sebelas. Kamu punya hobi menyanyi dan main gitar. Sekarang kemah di regu anggrek.”
           Kalimat Bima terus mengalir. Tepat menunjukkan siapa Irin sebenarnya. Mau tak mau Irin terheran heran juga. “Kau boleh percaya atau tidak kalau aku bisa bercakap cakap dengannya” Bima menunjuk ke luar jendela yang terbuka lebar. “Dengan beringin tua itu?” “Tentu. Dia baik. Ah iya kalau kamu mau tau, sebenarnya aku masih punya tiga sahabat lagi di sini.”
              “Oya” Setengah kaget Irin memalingkan wajahnya ke arah Bima. Lagi lagi dia sinting! Sepertinya pertemuan pertama kemarin, ia juga bercerita tantang hal hal yang aneh. Tentang kehidupan makhluk halus, pohon beringin yang bisa bicara sendiri dan hal hal lain yang tak bisa dimasukkan akal begitu saja.
“Tapi makhluk halus yang ini lain. Dia baik nggak suka mengganggu orang seperti lazimnya. “Oya sungguh langka sekali. Aku baru dengar sekali kalau ada setan yang baik seperti dia.” Ujar Irin. “Dia bukan setan! dia hanyalah gadis manis yang mengakhiri hidupnya sebelum ajalnya tiba.”
               Terus terang, meskipun ada rasa takut, namun Irin tak bisa percaya begitu saja, ia alergi takhayul. Ia tak mau jatuh gengsi. Siapa tau cowok ini sewaan kakak pembinanya yang ditugaskan untuk menakut-nakutinya, untuk mengetes keberaniannya.
                Inilah kuburan Sasmita, gadis manis yang kuceritakan. “Aah,” Irin mendengus dengan muka tak senang, Lelucon macam apa ini. “Kau jangan menakut nakuti saja!”
“Sekarang kamu baru percaya kan?” Di samping Irin masih ada satu makam lagi. Tapi Irin tak memperdulikan itu, Rupanya tempat ini penuh dengan makam. Bima mencekal tangan Irin waktu gadis itu melangkahkan kakinya. Jelas Irin jadi marah. “Kau tak boleh pergi!”
             “Aku tak suka lelucon ini.” Kata Irin judes. “Sekarang kau boleh tertawa. mengejekku atau melaporkanku ke kakak pembina kalau aku ini penakut. Katakan kalau aku takut pada banyolan-banyolanmu yang sinting itu.” Irin melepaskan cekalan Bima dengan kasar. Ia berjalan menjauhi Bima, Tapi ada yang ganjil dalam perasaanya. Irin menoleh lagi. Disana Bima tertawa, atau mungkin menyeringai. Ia tak tau arah jalan keluar bangunan. Bangunan tua ini begitu ruwet. Ke mana bisa menemukan pintu utama?
                “Kau tak kan lolos dari sini” desis Bima. Cowok itu masih berdiri di tempatnya dengan wajah angker. Irin menggigil, Tingkah Bima semakin aneh. Terus terang Irin belum kenal Bima.
Udara masuk tulang. Bau melati menyengat. Hidung Irin basah oleh keringat. Patung patung di samping Bima seperti bergerak-gerak hendak mengejarnya. Juga ayunan berdecit decit seperti ada anak kecil yang sedang menggunakannya.
Bima menyeringai. Dari sorotan nyala lilin kecil di tangannya Irin dapat melihat ada yang ganjil dari mulut Bima. Bima bertaring! Irin menggosok gosokkan matanya. Bima punya taring?
               “Sasmita ingin berteman denganmu. Ia menyukaimu.” Suara Bima terdengar berat dari sebelumnya. Belum sempat Irin berpikir dua kali, tiba tiba dari rerimbunan beringin itu merosot tubuh yang langsung menggantung gantung dengan leher terjerat dan lidah terjulur ke luar. Matanya melotot.
“Aaaaa..” Irin berteriak sekencang kencangnya. Ia berlari. Tubuhnya terasa berat. Irin terus berteriak minta tolong. Hewan hewan malam jadi resah. Sampai tubuhnya tersungkur ke tanah dan tak sadarkan diri, tak ada orang yang tau apa yang terjadi di dalam bangunan tua itu.
Sementara itu tak jauh dari tempat kejadian, teman teman Irin anggota pramuka Smadela sedang tegang-tegangnya melakukan pencarian. Mereka berteriak teriak memanggil nama Irin. Di hutan yang luas ini, tak ada yang berani berjalan jauh. Pencarian dilanjutkan siang hari. Tapi semua sia sia. Irin lenyap begitu saja. Irin hilang!
Dan sampai sekarang pun.. tak ada yang tau di mana Irin berada


Cerpen Karangan: Lena Sutanti
Facebook: facebook.com/lena.sutanti


Sekian sobat
Wassalam
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar