Postingan kali ini tentang cerpen lagi
Simak aja langsung....
Disaat aku tengah asyik menikmati kerumunan para gadis-gadis cantik itu, aktivitasku terhenti setelah dua teman setiaku menghampiri.
“Hey Bro, bawa mobil baru lagi nih!” ujar Fano, menyapaku.
“Yoi bro, biasa lah.. bokap gue lagi baik.” Jawabku yang sedang sibuk mengeluarkan diri dari kerumunan.
“Hebat loe bro, gue aja minta dari dua bulan yang lalu nggak direspon-respon sama bokap. Padahal, dia baru menangani proyek real estate. Pelit dia.” Dion curhat padaku dan Fano.
Begitulah yang terjadi jika ketiga anak pengusaha-pengusaha seperti kami berkumpul. Selalu saja saling pamer dan membicarakan hal-hal yang terdengar mengasyikkan.
Tiba-tiba perbincangan kami terhenti saat seorang gadis cantik berjilbab lebar kali panjang melangkahkan kakinya melewati kami dengan langkah menunduk.
“Alah.. dia itu sok alim bro. Di kelas saja jarang bicara, pelit kata-kata.” Adu Fano dengan menampakkan tatapan tidak suka pada gadis itu.
Anehnya, aku merasakan sesuatu yang tidak biasa di hatiku, ada sesuatu yang bergetar tatkala kulihat wajah menunduknya yang terlihat bercahaya.
“Bro, mau tantangan?” tawar Dion sembari menatap gadis itu.
Tanpa kelanjutan kata pun aku sudah paham dengan maksudnya, ia menantangku untuk mendaparkan seorang gadis berjilbab seperti dia.
“Oke, kalau gue bisa bagaimana?” sahutku mantap.
“Gue akan ngasih ticket VIP pertandingan tim favorit loe, Barcelona vs Real Madrid. Nah, secara otomatis waktu loe dua bulan untuk menaklukan hati tuh cewek.” Papar Fano kemudian.
Setelah aku menyepakati perjanjian tersebut, aku pun segera melarikan diri menuju kelas yang dimana kedua sahabatku tak berada dalam satu kelas yang sama.
Tepat di hari senin, aku bergegas melajukan mobil sport merahku menuju sekolah dengan jam yang masih menunjukkan pukul 6 pagi. Rencananya, hari ini aku akan mencoba menggoda gadis itu dengan memberikannya setangkai mawar putih beserta untaian kata-kata manis yang merupakan hasil otak kreatifku.
Suasana sekolah terlihat lengang saat mobilku telah berhasil memasuki kawasan belajar itu. Sehari, dua hari, tiga hari, aku selalu mendapati pemandangan yang sungguh mencengangkan. Setiap hari, aku melihat kiriman bunga dan surat cintaku ia buang ke tempat sampah sebagai benda yang layaknya tak bernilai. Untungnya, aku tak pernah menuliskan namaku sebagai identitas pengirim. Alhasil, kedua sahabatku mulai mengejek dan mengolok diriku.
“Cih, baru kali ini aku melihatmu ditolak!” ejek mereka.
Airina Tasya, itulah nama gadis yang kurasa sangat sombong itu. Ia belum tahu bagaimana sifatku, aku takkan menyerah sebelum aku mendapatkan sesuatu yang kuinginkan. Kalau enam hari yang lalu aku mengiriminya bunga, enam hari yang akan datang kembali berbeda. Kali ini aku mengiriminya cokelat yang kurasa adalah favoritnya. Namun lihat, apa yang ia lakukan dengan cokelat-cokelat pemberianku? Ia memberikannya pada puteri Pak Hendri, satpam yang menjaga pintu gerbang sekolah. Memalukan sekali bukan!
Aku telah mendapatkan keputusan dari pemikiran panjangku selama hampir lima jam. Aku akan menemuinya dan mengatakan bahwa aku benar-benar mencintainya. Aku mengaku, aku benar-benar tertarik padanya.
“Airin, kamu Airin kan?” tanyaku yang saat itu tak sengaja melihatnya di kantin.
“Ya. Ada apa?” katanya dengan nada tegas.
“Aku suka sama kamu!” ucapku setelah mengambil oksigen beberapa saat.
Tanpa menjawab, ia meninggalkanku yang masih berdiri di tempat. Ah, memalukan sekali! Aku tidak menyerah, aku mengejarnya dan berusaha meraih tangannya untuk menghentikannya, namun tiba-tiba seorang gadis tomboy yang kurasa bernama Irma menghadangku.
“Hey Rio, Airin itu nggak bakal suka sama kamu. Dia Cuma suka Ikhwan alim. Yang tahu agama, yang bisa ngebimbing dia mencari cinta sejati.” Papar Irma padaku.
“Sok tau loe!” sergah ku.
“Asal loe tau ya, itu semua impian para gadis kaya Airin. Gue baca di novel!” katanya lagi.
Hari-hari terlewati dengan pemikiranku yang terus tertuju kepada Airin beserta uraian yang telah dipaparkan secara tegas oleh Irma padaku. Waktu pun telah berlalu dan terlewatilah 60 hari masa waktuku untuk meluluhkan hatinya. Aku bisa saja gembira karena tidak perlu lagi mengumpulkan kecerdasan otakku untuk mengolah ide kreatif guna memberinya kejutan. Masalah yang kumiliki sekarang adalah bahwa aku menyukainya. Ah tidak, kurasa aku mencintainya, benar-benar mencintainya. Dari berbagai sumber yang telah kuketahui, kudapatkan sebuah informasi menarik agar bisa mendapatkan hati sang bidadari seperti Airin. Ya, aku akan berpindah sekolah menuju tempat yang menurut pemikiran kolotku dahulu adalah sebuah penjara yang bernama Pesantren.
Perpisahan dengan dua sahabat karibku telah dilakukan, dan inilah saat terakhir yang telah kunantikan. Aku ingin meliahat pemompa semangatku yang terakhir kali.
“Airin, ini untukmu. Ku mohon, jangan dibuang ya.” Pintaku dengan memberi sebuah kado padanya.
Aku pun memasuki mobil setelah menemuinya yang saat itu telah bersiap untuk memasuki mobil jemputannya.
“Airin, tunggu aku menjadi Ikhwan ya…” teriakku dari jendela mobil.
Ya, samar-samar aku melihatnya tersenyum. Manis sekali! Baiklah, aku berjanji padamu. Tunggulah aku menjadi ikhwan…
“Airin, Tunggu aku menjadi Ikhwan! Aku berjanji..”
Cerpen Karangan: Hanida Ulfah
Facebook: www.facebook.com/hanidaulfah.alfarizy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar